Konsisten Mengawal Isu Kebebasan Beragama

Pengurus eLSA berfoto bersama seusai peringatan ultah


Dari Diskusi Ulang tahun ke 6 eLSA “Liberating the Oppressed”

(Semarang-elsaonline) Selasa, 16 Agustus 2011 kemarin, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) genap berusia 6 tahun. eLSA lahir pada tanggal 16 Agustus 2005 sebagai sebuah lembaga dengan jenis kelamin Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).

Untuk memperingati hari lahirnya tersebut, pengurus eLSA menggelar diskusi bertajuk “Liberating the Oppressed: Penguatan dan Pemberdayaan Masyarakat Sipil”. Hadir sebagai pembicara pada diskusi tersebut antara lain Slamet Haryanto dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Eko Roeyanto dari LRC KJHAM dan Rony C. Kristanto, Rohaniwan Gereja Isa Al Masih Semarang. Diskusi yang dihadiri oleh sekitar 70an aktivis mahasiswa, OMS dan kelompok lintas agama itu dimoderatori Yayan M. Royani, peneliti di eLSA. Diskusi itu sendiri dilaksanakan di parkir Gedung H Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang mulai pukul 16.45-selesai WIB. Selesai kegiatan dilanjutkan dengan buka puasa/makan malam bersama.

As’adul Yusro, salah satu pendiri eLSA dalam sambutannya mengungkapkan bahwa embrio dari lembaga ini adalah komunitas di Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) Justisia, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. “Tahun 2000, Justisia membentuk lembaga kajian yang dinamai Lembaga Studi Justisia (eLSA). Tahun 2005, kita menarik eLSA keluar dari kampus dan menjadi lembaga yang mandiri”, tuturnya. Hadir sebagai komunitas kajian keagamaan yang kritis, liberal dan pluralis Justisia mendiseminasikan gagasannya melalui Jurnal dan Majalah yang diterbitkan dua kali dalam setahun.

Direktur eLSA, Tedi Kholiludin dalam sambutannya mengatakan bahwa untuk menjaga ritme aktivis Justisia di bidang kajian, maka terpikirkanlah untuk membuat kelompok kajian yang diperuntukkan bagi alumni Justisia, selepas mereka menyelesaikan studinya di IAIN. Ide ini sebenarnya sudah merupakan kebutuhan sejak kali pertama Justisia didirikan pada 1993. ”Tapi, selalu ada banyak kendala yang selalu datang, diantaranya adalah soal konsistensi dan kesiapan alumni Justisia untuk bisa bertahan dan siap menghidupi lembaga yang dibuat nanti” kisahnya.

Baca Juga  Lebih Baik Jadi Majikan Kecil, Daripada Kacung Besar

Tedi melanjutkan, niatan itu kemudian terealisir pada tahun 2005 oleh beberapa aktivis Justisia angkatan 1999 seperti M. Kholidul Adib dan As’adul Yusro serta angkatan 2001 semisal Wiwit Rizka Fatkhurrahman, Iman Fadhilah, Ahmad Khoirul Umam dan ia sendiri. ”Saat itu kami bersepakat untuk membentuk lembaga yang secara struktural lepas dari Justisia, tetapi memiliki paralelitas ide dan gagasan dengan lembaga tersebut” terang Tedi.

Karena berasal dari komunitas penerbitan dan kajian, maka fokus eLSA, di awal berdirinya juga ada di dua ranah itu. Bedanya, ketika masih di Justisia ada media yang difasilitasi oleh pemerintahan kampus, tapi saat di eLSA maka tantangannya adalah menyebarkan gagasan melalui media lain. Tetapi semangatnya tetap pada diseminasi ide pluralisme, HAM dan demokratisasi. Lalu, dipilihlah salah satu media cetak terkemuka di Jawa Tengah sebagai instrumen kampanye “demokratisasi dan pembelaan hak minoritas” pada tahun 2005-2007. Hingga kini kampanye tersebut dialihkan melalui media online yang bisa disimak di www.elsaonline.com.

Setelah melewati medium itu, eLSA berusaha untuk bergerak melebarkan sayap dengan membuka wilayah baru, yakni penerbitan. Meski dengan segala keterbatasan, sejak 2009 hingga sekarang, eLSA mencoba konsisten untuk menerbitkan karya-karya bermutu anak negeri dalam kajian pluralisme agama, politik agama, wacana kritis agama dan lainnya.

Tak puas hanya dengan melakukan kampanye, kajian dan penerbitan eLSA mulai merambah dunia monitoring kebebasan beragama pada tahun 2008 sebagai partner dari The Wahid Institute. eLSA melakukan pemantauan terhadap pelanggaran kebebasan beragama dan menerbitkan laporan tahunan kebebasan beragama di Jawa Tengah pada tahun 2009, 2010 dan 2011.

Tedi mengatakan, eLSA yang secara kelembagaan lahir dari kelompok kajian-kajian agama menganggap isu kebebasan beragama sebagai sesuatu yang penting untuk dijadikan bahan advokasi kebijakan publik. Bagi eLSA soal kebebasan beragama tidak hanya menyangkut latar belakang akademis, kinerja profesional tetapi juga bagian dari tanggungjawab moral. “Di usianya yang ke 6 ini, eLSA berusaha konsisten untuk menjaga “ruang publik” agar tetap kritis, terbuka dan nirdiskriminasi. Sekaligus sebagai upaya lanjut memantapkan eLSA sebagai lembaga yang mengawal isu-isu keagamaan di Jawa Tengah” tutur Tedi di akhir sambutannya.

Baca Juga  Kisah Penganut Sikep Berjuang 20 Tahun Memohon Akta Kelahiran Anaknya

Eko Roeyanto salah satu pembicara diskusi tersebut menegaskan kalau organisasi masyarakat sipil merupakan salah satu pilar demokrasi selain pers yang terbuka. LRC KJHAM yang menggeluti isu gender, perlu mendapatkan partner seperti eLSA yang kebetulan berlatarbelakang kajian-kajian agama. “Saat gelar kasus di pengadilan misalnya, lembaga penegak hukum lebih sering menggunakan dalil agama, ketimbang logika hukum” keluhnya. Ke depan, kata Eko eLSA perlu banyak berpartner dengan lembaga lain, karena pasti akan saling mengisi.

Slamet Haryanto dari LBH lebih banyak menyoroti tanggungjawab OMS. Baginya, OMS itu tidak hanya LBH, eLSA, KJHAM dan lembaga NGO lainnya. “OMS sangat berperan penting dalam melakukan perubahan sosial”, ulas Slamet. Menurut Slamet, konteks eLSA sebenarnya tidak berbeda jauh dengan LBH yang sama-sama mengusung isu HAM, meski eLSA lebih spesifik pada aspek kebebasan beragama.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat sipil, LBH melakukan pelbagai pendidikan hukum kritis. “Tujuannya agar korban merasa sadar akan haknya yang terenggut dan dapat memperjuangkan haknya sendiri” lanjut Slamet.

Sementara pembicara lain, Rony dari GIA lebih fokus berbicara pada isu-isu dialog umat beragama. Menurutnya, energi umat beragama jangan terforsir hanya untuk mengurusi dialog antar iman serta berbicara kerukunan umat beragama saja. “Saya kira kita jangan terlalu asyik dalam diskursus itu, karena bisa jadi akan menumpulkan kritisisme kita terhadap pemerintah”. Jadi disamping terus menggalang dialog agama, tetapi hal itu juga harus dibarengi dengan terus menerus mengkritisi kebijakan pemerintah yang diskriminatif di semua aspek baik ekonomi, politik maupun soal regulasi keagamaan tentunya. (elsa-ol)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

1 KOMENTAR

  1. Selamat Ulang Tahun eLSA. saya rasa ini keberkahan yang luar biasa untuk eLSA, selama 6 tahun masih konsisten dan eksis. Semoga eLSA menjadi bibit unggul yang siap mewujudkan cita-cita besar: “konsisten untuk menjaga “ruang publik” agar tetap kritis, terbuka dan nirdiskriminasi”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini