Mantapkan Program Kerja Sekolah Damai, Wahid Foundation Ajak Rembug Komunitas dan Lembaga Pendidikan

Semarang elsaonline.com Sekolah menjadi tempat untuk menyemai narasi-narasi perdamaian sedari dini. Guna menebarkan benih-benih toleransi di lembaga pendidikan pendidikan, Wahid Foundation gelar Focus Group Discussion bertema “Pokja Perumus Draft Usulan Kebijakan Sekolah Damai dan Pro Toleransi di Jawa Tengah di Semarang, 2-3 (5/2021).

Wahid Foundation mengundang kepala sekolah yang akan menerapkan kebijakan sekolah damai dan pro toleransi setelah melalui proses seleksi untuk implementasi bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan yang konsisten

“Acara ini mengundang kepala sekolah dikarenakan mereka yang mengetahui kondisi sekolah,’ tutur Peneliti Elsa Semarang Ceprudin.

Peneliti Pusat Studi Agama, Pluralisme dan Demokrasi Izzak Lattu memaparkan tentang konsep melihat ruang keadilan (seeking spatial jusctice) dan penguatan convental pluralism di lembaga pendidikan.
Pria asal Ambon, menuturkan penguatan terhadap pilar-pilar perdamaian di sekolah harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada di masyarakat. Peserta didik memiliki keterikatan dengan kehidupan sehari-hari.

“Setiap peserta didik memiliki lingkungan sebelum berangkat ke sekolah. Saya pernah melakukan penelitian di Solo, setiap orang memiliki peluang untuk membuka ruang keadilan. Misalnya, melakukan nyadran di Ngruki,” tuturnya.

Caken, panggilan akrabnya, menuturkan bahwasanya pemahaman peserta didik jangan diarahkan pada pemahaman mayoritarianisme. Artinya, fanatisme terhadap agama yang berlandaskan pada jumlah massa untuk melakukan segala hal atas nama Tuhan.

Dosen Sosiologi Agama UKSW itu menambahkan untuk implementasi kebijakan tersebut harus berhubungan dengan pemegang kebijakan dan kondisi masyarakat.

“Kebijakan akan dimiliki oleh pimpinan, dalam lingkup sekolah ada di bawah kepala sekolah. Penting secara formal ini harus selaras dengan kondisi siswa yang menjadi masyarakat sekolah,” katanya.
Impelementasi perdamaian akan mampu diterapkan di setiap lembaga pendidikan yang disesuaikan dengan kebiasaan di masyarakat. Pola ini bisa diciptakan oleh pemegang kepala sekolah untuk menerapkan poin-poin pro toleransi yang sudah disetujui bersama.

Baca Juga  Problem Pemakaman Penghayat di Banyumas

“Habitus perdamaian bagi setiap individu yang terlibat di dunia pendidikan dinilai lebih tepat ketimbang yang tidak memilikinya,” ucapnya

Usai pria berkacamata menyampaikan materi, ia mempersilahkan kepada setiap peserta pokja untuk memberikan pendapat tentang proses implementasi kebijakan sekolah damai.

Peserta pokja sekolah damai dan pro toleransi terdiri dari Yayasan Elsa, Pelita Semarang, FKUB Jawa Tengah, Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), SMAN 7 Semarang, SMAN 1 Cepiring, , SMAN 1 Semarang, dan Pengajar Siswa Penghayat, dan SMAN 10 Semarang. (Rais/Elsa)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini