Oleh: Tedi Kholiludin
Setiap kali bersua dengan diskusi yang bertajuk “peran pemimpin agama” saya selalu mengajukan pertanyaan reflektif; siapa yang dimaksud dengan pemimpin agama itu? Kalau kemudian dikaitkan lingkup yang spesifik, Islam, pertanyaannya juga menjadi lebih khusus, siapakah pemimpin Islam itu?
Untuk mengenali siapa yang dimaksud pemimpin Islam itu, mengenali konteks tentu menjadi penting. Dalam setiap komunitas, ada kekhasan yang meski didalamnya mengandung universalitas, tetapi juga ada partikularitas. Sekadar contoh, komunitas muslim di Indonesia mengenal organisasi masyarakat berbasis agama dengan variasi yang sangat beragam. Di Arab Saudi, praktik keberislaman ini bisa saja tak ditemukan karena negara hanya mengendalikan seluruh kehidupan keberagamaan termasuk dalam pengaturan organisasi keislaman. Jika demikan praktiknya, maka pertanyaannya kemudian, siapa yang dimaksud pemimpin Islam itu? Apakah pemimpin organisasi masyarakat berbasis agama, Menteri Agama, Ketua Majelis Ulama, atau siapa?
Saya memulai catatan sederhana ini dengan mengajukan dua premis; (i) tidak ada otoritas tunggal yang menjadi referensi satu-satunya bagi umat Islam dalam melaksanakan aktivitas keberislaman (ii) pemimpin Islam yang memiliki otoritas serta menjadi acuan keberislaman tersebar setidaknya pada tiga model; Elemen Kebudayaan (Struktural maupun Kultural), Organisasi Keagamaan dan Individu (Religious Scholar atau Muballigh).
Elemen Kebudayaan sebagai Pemimpin Islam
Jika kita mendengar istilah Kiai, Ajengan, Tuan Guru, Anregurutta, dan lain sebagainya, maka itu adalah sematan yang diberikan kepada mereka yang dianggap memiliki kemampuan dalam ilmu agama. Istilah ini bersifat kultural, sehingga bisa kita sebut mereka sebagai pemimpin Islam yang berasal dari pengakuan (kultural) masyarakat. Masyarakat yang menyematkannya, bukan individu tersebut yang mendaku. Dia diciptakan atas dasar kesepakatan tak tertulis masyarakat yang memiliki.
Latar belakang mengapa mereka disebut Kiai (dan lainnya) setidaknya didasarkan atas tiga kapasitas.
Pertama, Kiai Pesantren. Mereka menjadi pemimpin Islam karena memiliki pesantren atau lembaga keagamaan yang menjadi tempat bagi para calon pemimpin atau ahli agama. Di beberapa tempat (Pulau Jawa, Madura, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Selatan dan lain sebagainya) kiai pesantren memiliki magnet sekaligus sebagai penggerak perubahan.
Kedua, Kiai Tarekat. Model kedua ini, bisa jadi beririsan dengan yang pertama; yakni seorang kiai yang di pesantrennya juga mengajarkan tarikat, tidak hanya fiqih (Hukum Islam). Namun, tak jarang juga ditemukan seorang kiai tarikat yang memang hanya mengajarkan tarikat, tapi tidak memiliki pesantren. Pemimpin Islam kategori ini, meski tak memiliki pesantren misalnya, ia tetap memiliki pengaruh dalam komunitas tertentu.
Ketiga, Kiai Mushola atau Kiai Langgar. Gus Dur, atau KH. Abdurrahman Wahid menyebut kategori ketiga ini sebagai Kiai Kampung. Kiai jenis ini ini memfokuskan diri untuk mengabdikan pada masyarakat; memimpin sholat lima waktu di mushola, mengurus jenazah, menjadi pemimpin doa dalam kegiatan keislaman dan lain sebagainya. Sebagai pemimpin yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, tipe ini juga memiliki pengaruh dalam komunitas tertentu.
Kategori lain dari pemimpin Islam yang berasal dari elemen kebudayaan, bisa kita temukan pada model pemimpin di negeri-negeri adat atau kerajaan/kesultanan yang berbasis budaya. Jenis ini, bisa kita kenali sebagai pemimpin agama yang berbasis pada elemen kebudayaan yang bersifat struktural. Di Maluku misalnya, pemimpin negeri adat atau Raja-raja Negeri (Islam), dalam batas-batas tertentu, adalah pemimpin Islam bagi masyarakatnya.
Pemimpin Organisasi Keagamaan sebagai Pemimpin Islam
Perkembangan abad 20 dicirikan, salah satunya, oleh pertumbuhan organisasi masyarakat yang berpijak pada tradisi Islam. Ini adalah dinamika yang khas dan muncul di Indonesia selain tentu saja ada faktor eksternal.
Di Solo, pada tahun 1905 berdiri Sarekat Islam (mulanya bernama Sarekat Dagang Islam). Muhammadiyah kemudian terbentuk pada 1912 di Yogyakarta, menyusul kemudian Al-Irsyadiah di Jakarta pada 1914. Nahdlatul Ulama (NU) dideklarasikan pada 1926 di Surabaya. Setelahnya berdiri PERTI (Pergerakan Tarbiyah Islamiyah) di Bukit Tinggi Sumatera Barat pada tahun 1928 lalu Jami’iyyah Washliyah di Medan pada Tahun 1930 dan lainnya.
Organisasi-organisasi ini berkembang ke seluruh penjuru tanah air. Tidak hanya membawa misi dakwah keagamaan, tetapi juga infrastruktur bersifat sosial seperti lembaga pendidikan, rumah sakit atau klinik kesehatan, panti asuhan dan lain sebagainya.
Jika memahami dari sudut pandang ini, maka yang kita kenali sebagai pemimpin Islam adalah orang-orang yang secara struktural menjadi pimpinan dari organisasi ini.
Di luar contoh ormas yang disebut diatas, Indonesia mengenal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ada perbedaan antara MUI dengan organisasi-organisasi diatas, meski karakter utamanya adalah organisasi masyarakat.
Perbedaan pertama adalah relasi dengan pemerintah. Dari sisi historis MUI yang berdiri pada 1975 memiliki hubungan yang agak lekat dengan pemerintah. Bahkan, ada kesan, MUI menjadi organisasi Islam yang banyak memberikan justifikasi atas kebijakan-kebijakan pemerintah.
Perbedaan kedua adalah MUI mencoba menjadi payung bagi organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Meski begitu, tidak ada relasi struktural disana.
Mana yang paling berpengaruh di masyarakat?
Secara umum, kita bisa melihat bahwa dari aspek kepengurusan NU, MUI dan Muhammadiyah ada di seluruh Indonesia. Hanya saja ada hal yang menarik, karena di NTB misalnya, yang lebih punya pengaruh di masyarakat adalah Nahdlatul Wathon (NW). Begitu juga di Sumatera Utara, dimana Jam’iyah Washliyah yang barangkali memiliki lebih banyak anggota.
Pemimpin Islam dari Kategori Individu
Agak sulit menentukan tipologi dari kategori ini, karena indikatornya mungkin tidak tunggal. Mereka yang disebut sebagai pemimpin Islam dari level ini adalah mereka yang secara kemampuan akademik dan intelektual mencerminkan sebagai individu yang layak disebut sebagai pemimpin. Ini pemimpin yang dalam kategorinya Weber sebagai pemimpin legal-rasional.
Salah satu yang ingin saya sebut dalam kategori ini adalah Prof Quraish Shihab. Beliau adalah pakar tafsir al-Qur’an terkemuka dan juga pernah menjadi Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Nama-nama lain bisa disebut untuk merujuk pada mereka yang memiliki kualitas serupa.
Selain yang berasal dari kampus atau perguruan tinggi Islam, kategori individu juga berlatar muballigh atau pendakwah. Dulu, kalangan muslim mengenal KH. Zainuddin MZ sebagai pendakwah yang dalam setiap pengajiannya selalu dihadiri banyak pendengar.
Fenomena mutakhir dalam kehidupan keislaman Indonesia menunjukkan begitu banyak hadirnya para muballigh dan pendakwah dengan manajemen yang lebih komplet.
***
Bagaimana memaksimalkan peran dari pemimpin agama (Islam) ini untuk menjaga keragaman, menangkal radikalisme, memasyarakatkan moderasi, menguatkan komitmen kebangsaan serta mengokohkan relasi-relasi antar umat beragama?
Pertama, harus dipahami bahwa peran pemimpin agama dari kategori tertentu mungkin optimal di wilayah tertentu tetapi tidak cukup maksimal di tempat lain. Di Maluku, mungkin yang lebih banyak berperan adalah para pemimpin Negeri Adat ketimbang Ketua MUI Provinsi atau Kabupaten/Kota. Di Jawa Timur, pimpinan-pimpinan pesantren mungkin lebih banyak dirujuk daripada daripada pemerintah kabupaten/kota. Mengenali elemen mana yang berpengaruh penting untuk menentukan dengan siapa kerjasama itu diupayakan.
Kedua, anasir-anasir politik kekuasaan mungkin perlu dipinggirkan untuk menjernihkan relasi. Tentu ini tidak mudah, tetapi ketika percakapan bisa digeser ke problem politik kerakyatan dan politik kebangsaan, dua aspek ini meminimalisir tarik menarik yang kuat di level kekuasaan. Sekali lagi, ini pasti tidak mudah, tetapi mesti terus diupayakan.
Ketiga, dengan cara apa agar peran pemimpin agama bisa lebih maksimal? Deklarasi, Konferensi, Seminar, Dialog, atau medium apa? Tidak ada desain tunggal yang lebih baik dari strategi yang lain. Sekali lagi, konteks masyarakat akan menentukan cara apa yang relevan untuk dipilih.