Indonesia adalah yang beragam. Karena itu harus dibangun kebersamaan dan sengkuyung supaya tidak terjadi perpecahan.
”Kami sebagai pemerintah menyampaikan apresiasi dengan adanya kerukunan ini. Meskipun sudah diatur dalam perundang-undangan tentang pemakaman penganut kepercayaan namun memang terjadi seperti itu,” katanya, pada rembug warga dan buka bersama ”pentingnya menjaga kerukunan antar umat beragama dan keyakinan” di Kantor Balai Desa Siandong, Larangan Brebes, Senin (29/6/15).
Pemerintah Provinsi selalu mendorong untuk tercipatanya kerukunan antar umat beragama. Generasi Penganut Kepercayaan juga dilibatkan untuk aktif dalam forum-forum kerukunan umat beragama. Kedepan, pemerintah harus bersedia untuk menyelesaikan konflik secara rembugan.
Panit 1, Subdit 1, Ditnarkoba Polda Jateng AKP M Subhan yang juga menjadi narasumber pada kesempatan itu memaparkan bahwa warga negara Indonesia harus bersyukur dengan keadaan ini. Pancasila itu sudah mengatur ketuhanan dimana harus menghargai dan patuh kepada ibu. Ibu itu bukan dalam arti sempit, tapi dalam arti luas seperti pemerintah.
Ia juga meminta untuk menaati aturan hukum yang ada karena itu mencerminkan ketuhanan. “Taati aturanya, karena aturan itu mencerminkan nilai ketuhanan. Jadi yang diaati aturanya ya, bukan orangnya. Enggak ada aturan kepala desa yang mengatur untuk memukuli warganya, jadi enggak ada. Kalau kita taat kepada atasan kita, ya kita aman dan damai,” paparya.
Benar Sendiri
Mengenai hidup di Indonesai, subhan berpesan supaya tidak berani dengan orang tua itu. “Jadi intinya njenengan hidup di Indonesia itu harus bersyukur. Karena Pancasila itu mencakup tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Dihati penjenengan percaya ndak tuhan itu esa? Harus percaya. Kita harus yakin, kita lahir ke dunia itu atas kekuasaan Tuhan, nah itu ada cerita dari nabi Adam dan Hawa,” paparnya.
Ia berpesan supaya supaya masing-masing penganut agama dan kepercayan tidak mengaku paling benar, ”Nah nuwun sewu, jadi kalau ada orang Islam mengaku paling benar dan orang Sapta Darma mengaku benar, bahaya pak. Karena di dalam hidup ini, Pancasila itu harus dipraktikan betul,” tukasnya.
Kapolsek Larangan Sapari yang hadir pada kesempata itu mencoba mencari solusi teknis khusus terkait dengan pemakaman. Sebagaimana diketahui, di Desa Siandong, pada Desember 2014 jenazah penganut Sapta Darma pernah ditolak pemakamanya di pemakaman umum.
Atas peristiwa itu, Sapari mencoba untuk menawarkan solusi untuk mengantar jenazah ke pemakaman di desa lain. Pada waktu kejadian, warga meminta untuk dimakamkan di luar desa. Namun akhirnya dimakamkan di pekarangan rumah. ”Kalau saya usul dan kalau ada komunikasi, saya bersedia mengantar jenazah dengan mobil dinas polsek,” sambung Sapari.
Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang Tedi Kholiludin memaparkan bahwa ada pergeseran pola dialog yang dikembangkan. Menurutnya, dialog-dialog yang dikembangkan biasanya dilakukan di Hotel-hotal atau vila. Supaya lebih efektif, dialog antar umat beragama dan kepercayaan ini kemudian digeser ke level akar rumput.
“Biasanya dialog dilakukan di hotel atau vila yang bagus. Pola itu tidak salah memang. Namun kami mencoba melakukan pergeseran pola dialog yang dikembangkan yakni langsung ke level masyarakat desa. Sehingga langsung di akar rumput supaya dialog dalam membangun kerukunan ini semakin efektif,” tuturnya. [elsa-ol/Cep-@ceprudin/001]