Oleh: Ubbadul Adzkiya’

Pelayanan terhadap penghayat kepercayaan yang diberikan negara masih belum bisa dipenuhi selayaknya masyarakat pada umumnya. Permasalahan pun tidak usai ketika masyarakat penghayat meninggal dunia, mereka masih saja menghadapi rintangan ketika hendak dimakamkan oleh pihak keluarga.
Di Jawa Tengah misalnya. Penghayat yang meninggal sempat ditolak oleh masyarakat untuk dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) desa setempat, yang sejatinya merupakan tempat umum yang bisa digunakan oleh semua masyarakat. Kejadian tersebut tepatnya terjadi di desa Cikandang Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes pada tahun 2011.
Kasus di Brebes ini diceritakan oleh Subagio, pengahayat dari Persada (Perhimpunan Sapto Dharmo) saat bertemu dengan eLSA belum lama ini. Dia mengatakan bahwa salah satu pengayat meninggal kemudian ditolak di pemakaman umum hanya karena tidak menganut kepercayaan yang sama dengan laiknya mayoritas.
“Salah satu warga yang meninggal, ketika mau dibawa ke pemakaman umum itu ditolak oleh masyarakat sekitar. Katanya mayatnya non muslim tidak layak dimakamkan di pemakaman umum,” ujar Subagio, yang menjabat sebagai sekretaris Persada Brebes.
Saat kejadian itu Subagio menyesalkan sikap aparat desa ketika ia menuntut haknya kepada pemerintah terkait, dalam hal ini aparat desa yang tidak bisa memberikan pelayanan dan mengayomi kepada semua masyarakatnya, mereka bukannya melayani malah membela masyarakat mayoritas.
“Mereka lebih berpihak dengan mayoritas akhirnya kami pun mengalah dan jenazah itu pun kami pulangkan dan dimakamkan di pemakaman pribadi,” keluhnya.
Perlakuan menyedihkan lainnya yang dialami penghayat kepercayaan tutur Subagio juga terjadi di Desa Cigepok, ketika ada warga meninggal tidak ada masyarakat lain selain penghayat yang ikut belasungkawa/takziah, hal ini terjadi karena yang meninggal adalah warga dari Sapto Dharmo. “Paling menderita sekali, ketika ada warga Sapto Dharmo yang meninggal di desa Cigepok, tidak ada satu masyarakat yang ikut takziyah, hanya warga Sapto Dharmo yang jumlahnya hanya 10 orang saja. Meskipun masih famili pun mereka tidak takziyah. Apa ini bukan merupakan bentuk diskriminasi?” tambahnya.
Semua warga Negara seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama dan hak yang sama dalam fasilitas umum yang disediakan oleh pemerintah. Pemerintah wajib menjamin dan melindungi warganya, termasuk dalam kasus pemakaman di atas, negera telah gagal memberikan jaminan kepada warganya untuk dimakamkan di tempat sebenarnya, TPU.
Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Dari pasal ini sudah jelas bahwa semua warga Negara berhak atas jaminan perlakuan yang sama.
Peraturan terhadap pelayanan penghayat kepercayaan sejatinya sudah diatur dengan jelas dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No 43 dan No 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Peraturan Bersama tersebut sudah dijelaskan dalam pasal 8, dengan 4 ayat yang menjelaskan teknis pemakaman bagi penghayat kepercayaan, “Penghayat Kepercayaan yang meninggal dunia dimakamkan di tempat pemakaman umum” (ayat 1).
Sudah jelas, bahwa penghayat berhak untuk dimakamkan di pemakaman umum, jadi apa yang dialami oleh salah satu warga desa Cikandang Kecamatan Larangan adalah kelalaian Negara karena tidak bisa memenuhi hak atas warganya.
Pasal selanjutnya tentang pemakaman adalah antisipasi apabila ada warga yang ditolak dimakamkan di pemakaman umum dari tanah yang berasal dari wakaf. “Dalam hal pemakaman Penghayat Kepercayaan ditolak di pemakaman umum yang berasal dari wakaf, pemerintah menyediakan pemakaman umum” (ayat 2). Jadi apabila terjadi penolakan oleh masyarakat pemerintah wajib memberikan solusi dengan menyediakan tempat pemakaman umum.
Berikutnya di ayat 3, disebutkan “Lahan pemakaman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disediakan oleh Penghayat Kepercayaan” dan di ayat 4, “Bupati/walikota memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang disediakan oleh Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk menjadi pemakaman umum.”
Dalam pasal 3 dan 4 pemerintah terkesan cuci tangan dengan melemparkan penyediaan lahan pemakaman kepada penghayat kepercayaan, tidak sepatutnya pemerintah hanya memfasilitasi dalam hal sifatnya administratif tentang penggunaannya. Pemerintah seyogyanya berani tegas dengan segala resikonya, yaitu dengan menjamin mereka yang meninggal bisa dimakamkan selayaknya warga Negara pada umumnya. Dan apabila kemungkinan terburuk terjadi penolakan pemerintah harus memberikan fasilitas lahan kepada warganya untuk dimakamkan.
duh gusti nyuwun agunging samudro pangarsami