Karakater Masyarakat Muslim Semarang

(Disarikan dari Diskusi dengan Djawahir Muhammad)

Kampung Arab di Tahun 1920an (Sumber: kitlv.nl)
Kampung Arab di Tahun 1920an (Sumber: kitlv.nl)

Perkembangan masyarakat muslim itu kebanyakan dimulai dari pantai. Dalam situasi itu, Semarang bisa dikatakan sebagai wilayah yang jadi pintu masuk Islam ke pedalaman. Jadi Islam masuk dari Semarang sebelum kemudian ke Surakarta dan lain-lainnya. Di Semarang, sebagai kota yang disiapkan Belanda sebagai perdagangan, masyarakatnya selain kosmopolit juga punya spirit sebagai pedagang.

Pedagang itu punya karakter lebih baik jadi juragan kecil, daripada menjadi kacung besar. Hal ini yang kemudian berpengaruh terhadap pola keberislamannya. Mereka tidak merasa menjadi seorang muslim yang harus mengembangkan agamanya secara ketat. Mereka adalah seorang muslim hanya saja tidak seperti yang berkembang di Kendal, Demak dan daerah pesisir lainnya dengan membangun pesantren.

Orang Semarang itu merasa nyaman menjadi pedagang, meskipun sesungguhnya mereka tidak kaya-kaya amat. Kaya sedikit, sudah cukup dan dinikmati. Sehingga tanggung jadinya. Seperti halnya Betawi mungkin yang nasibnya sama. Orang Betawi itu tidak ada yang eksis betul, setengah-setengah.

Sejauh ini, Semarang tidak punya ikon, tokoh yang besar baik di bidang perdagangan atau seni budaya. Ada memang Kyai Saleh atau Munawir Syadzali. Tetapi mereka tidak bisa dikatakan lahir dan dibentuk oleh Semarang. Permasalahannya karena itu tadi, orang Semarang punya karakter merasa puas dengan yang ada.

Kalau merunut pada kualifikasinya Clifford Geertz, maka masyarakat Semarang itu agak lebih dekat sebagai orang Abangan. Implikasinya, interaksinya dengan kelompok Non Islam, Belanda atau Cina cukup kental. Ada satu terminologi, namanya hybrid culture, pertemuan satu budaya dengan budaya lain. Itu lebih mewarnai masyarakat Semarang ketimbang multikulturalisme dengan pluralisme. Jadi ini kebudayaan yang egaliter sesungguhnya. Jadi disini persilangan budaya itu bukan didasarkan atas spirit atau ideologi, maupun agama. Maka dari itu, hybrid culturenya lebih kuat daripada pluralisme atau multikulturalisme. Sehingga, eksistensi masyarakat Semarang dengan budayanya sendiri kurang, karena ada di tengah-tengah. Ada dalam tarikan budaya yang lain. Hidup tidak, mati pun tidak. Dan orang Semarang menikmati berbagai budaya itu.

Baca Juga  Dialog, Jalan Untuk Perdamaian

Masyarakat Santri

Dulu itu, Semarang itu hampir sama dengan Kaliwungu. Jadi masyarakat Semarang itu pada dasarnya masyarakat santri. Bahkan hingga tahun 1960an, anak-anak yang pergi mengaji masih sangat banyak. Pada zaman kerajaan, perkembangan Islam terasa ketika Demak mulai eksis, lalu berkembang dan dikembangkan oleh ulama seperti Kyai Saleh Darat dan Kyai Muhamad Nur Sepaton.

Jadi siapa orang Semarang itu? Ini yang agak sulit diidentifikasi. Di Semarang, tidak ada tradisi keturunan yang baik. Sulit sekali didefinisikan tentang siapa itu orang Semarang. Ada budayawan seperti Raden Saleh, seorang pelukis dari Semarang yang besar.  Reputasinya internasional. Dia pergi ke Belanda, Paris dan lain-lain. Raden Saleh seorang keturunan Kyai Terboyo, tetapi wafatnya di Bogor. Mengembaranya di tanah asing. Lahirnya saja di Semarang. Ada juga yang lahir di Semarang NH Dini, Garin Nugroho, Munawwir Syadzali, Sutiyoso, Tukul Arwana, Titiek Puspa dan Kyai Moenawwar Chalil. Tetapi mereka berkembang tidak di Semarang. Sehingga ada adagium bahwa orang Semarang tidak bisa eksis kalau tinggal di Semarang. Kalau di Semarang, begini-begini saja, terbuai dengan budaya yang ada.

Satu contoh kalahnya budaya Semarang ada pada Warak Ngendog. Sebagai representasi dari hybrid culture, Warak Ngendog itu mestinya lebih dominan budaya lokalnya. Tapi ini tidak. Mestinya sudut-sudutnya itu lurus, karena mencerminkan karakteristik masyarakat Semarang yang apa adanya, tidak basa-basi dan lainnya. Sekarang tidak, sudutnya sudah tidak lagi lurus.

Dengan begitu, masyarakat Semarang mengalami kekalahan di semua sisi; sosial, ekonomi, budaya dan juga politik. Dari tahun 1945 hingga sekarang hanya ada dua pimpinan Kota Semarang yang asli Semarang, yani Hadisoebeno dan Hendar Priyadi. Ini mungkin akibat watak orang semarang yang tidak punya ambisi besar, cukup dengan apa yang ada. Kalau sudah bisa hidup, ya cukup. Menikmati hidup apa adanya.

Baca Juga  Sosialitas, Tubuh dan Seks

Dari aspek lokasi, agak sulit menunjuk area dimana masyarakat asli Semarang itu. Yang paling bisa dilakukan adalah merujuk pada perkampungan-perkampungan lama sebelum zaman Belanda, dan ketika datang Belanda itu kemudian dilestarikan hingga sekarang. Misalnya daerah Jomblang, (Jomblang Barat dan Timur) Jalan Mataram, Jalan Kakap. Daerah konsentrasinya di Pantai Semarang, di pesisir-pesisirnya. Jadi ketika Belanda masuk, di sekitar itulah orang Semarang. sosok orang Semarang seperti apa, itu mungkin hanya sedikit. Karena kebanyakan adalah kaum urban, yang dari pagi hingga sore dan kemudian pulang ke wilayah sekitar. [elsa-ol/T-Kh]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini