Semarang Kota (Kenangan) Santri

[Semarang – elsaonline.com] Tak ada yang menyangkal jika Semarang kota kosmopolitan. Ragam etnis, budaya dan agam mewarnai kota Atlas ini. Gemerlapnya kota ini, ternyata menyimpan banyak jasa dalam penyebaran Islam di Jawa. Terbukti dengan jejak-jejak keberadaan kiai-kiai besar di Semarang.

Sejarawan Kota Semarang Djawahir Muhamad mencatat beberapa kiai besar dan sangat berpengaruh di Nusantara yang pernah merumput di Semarang. Kiai-kiai yang berjasa menciptakan suasana kota santri kala itu tiga di antaranya, Ki Ageng Pandanaran, Kiai Nawawi al-Bantani, dan Kiai Sholeh Darat.

Masjid An Nur yang berada di Jalan Beteng Kecil, konon digunakan Pangeran Diponegoro untuk bersembunyi dari kerjaran Belanda.
Masjid An Nur yang berada di Jalan Beteng Kecil, konon digunakan Pangeran Diponegoro untuk bersembunyi dari kerjaran Belanda.

”Sejatinya banyak kiai-kiai besar yang berasal dari Semarang dan juga kiai bukan asal Semarang namun pernah singgah di Semarang. Kiai Nawawi al-Bantani misalnya, sebelum ke banten ia pernah singgah di Semarang dan mengajar (santri-red) di surau-surau,” kata mantan wartawan Suara Merdeka itu saat ditemui di kediamannya, Selasa (4/3).

Jejak perjuangan kiai-kiai besar Semarang itu terbukti dengan masjid-masjid kuno yang terdapat di Kota Semarang. Di antaranya Masjid Kauman —di Kelurahan Kauman—, Masjid Menara —di Jalan Layur Kelurahan Dadapsari—, Masjid Kiai Sholeh Darat di Jalan Kakap Kampung Darat Tirto Kelurahan Dadapsari.

Selain masjid itu, terdapat juga masjid-masjid kuno yang juga mempunyai peran besar dalam penyebaran Islam di Jawa. Di antaranya masjid Masjid Pekojan, Masjid Beteng Kecil, dan masjid sekaligus Makam Kiai Syeh Jumadil Qubro yang ada di Jalan Arteri Semarang.

Pria kelahiran asli Semarang Jalan Petek I Kelurahan Dadapsari itu menyampaikan awal mula penyebaran Islam di Semarang tak lepas dari Kerajaan Demak kala itu. Dia menyebutkan Ki Ageng Pandanaran kala itu sangat besar jasanya. Selain mengawal pemerintahan, namun juga menjadi ulama yang sangat dipercaya masyarakat.

Baca Juga  Ngaji Filsafat di Bulan Penuh Rahmat

Sekitar tahun 1398 Saka atau tahun 1476 Masehi, Ki Ageng Pandanaran membuka tempat mengaji di Bukit Bergota. Dengan membangun mushola kecil, Ki Ageng mengajarkan Islam kepada masyarakat sekitar. Kala itu, Bergota merupakan bukit yang dikelilingi pantai (pelabuhan).

Buka Wilayah

Setelah terjadi sedimentasi yang sangat parah, kemudian wilayah yang semula pantai kemudian menjadi darata. Ki Ageng Pandanaran pun, kemudian memperluas wilayah dakwahnya ke tempat-tempat yang semual pantai.

”Beliu juga kan yang membuka Semarang daerah bawah. Hingga sekarang sampai dinamakan bubakan itu,” kata dia merujuk pada sebuah tempat yang sekarang bernama Bubakan di Kota Semarang. Setelah itu kemudian menyebarkan ajaran Islam itu ke daerah selatan seperti surakarta dan beberapa tempat lainnya.

Sayangnya, waktu itu Djawahir belum sempat bercerita banyak soal persinggahan Kiai Nawawi al-Bantani di Semarang. Ia tak menyebtukan di mana Kiai Nawawi tinggal dan mengajar di daerah mana. Lebih lanjut, pria penyuka binatang itu menceritakan ulama pasca Ki Ageng Pandanaran.

Ia menyebut kiai yang tergolong sepuh yakni Kiai Terboyo (yang dimaksud bukan Kiai Syeh Jumadil Qubro-red). Selanjutnya, ia menjelaskan jasa kiai yang sangat terkenal yakni Kiai Sholeh Darat yang masih dijumpai karya-karyanya dalam bidang kitab berbahasa Jawa.

Kiai Saleh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820  (1235 H).  dengan nama Muhammad Shalih. Kemudian wafat di Semarang, pada 18 Desember 1903/28 Ramadhan  1321 H dalam usia 83 tahun.

Konon kiai-kiai besar yang pernah nyantri kepada Kiai Sholeh Darat, diantaranya, KH Hasyim Asy’ari pendiri (Nahdlatul Ulama), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Syaikh Mahfudh Termas Pacitan (pendiri Pondok Pesantren Termas).

Baca Juga  Budaya Populer, Postmodernisme dan Islam (1)

Selain itu juga pernah mengaji kepada Kiai Sholeh yakni KH Idris (pendiri Pondok Pesantren Jamsaren Solo), KH Sya’ban (ahli falak dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan), KH Munawir (Krapyak Yogyakarta).

KH Abdul Wahab Chasbullah dari Tambak Beras Jombang, KH Abas Djamil Buntet Cirebon, KH Raden Asnawi Kudus, KH Bisri Syansuri Denanyar Jombang juga dikabarkan pernah nyantri. Para murid itu ada yang belajar pada Kiai Soleh Darat sewaktu masih di Mekah maupun setelah kembali di  Semarang.

“Kiai Terboyo itu merupakan kakek buyut Kiai Sholeh. Masjid Kiai Sholeh sekarang ada di Jalan Kakap, sekarang sudah tak ada lagi bentuk aslinya. Bahkan mungkin dari sisi bangunan sudah berubah total. Karena di sana dulu merupakan pesantrennya,” katanya.

Pasca itu, kemudian Semarang mulai kedatangan pedagang dari berbagai wilayah di Nusantara. Perdagangan yang dilakukan oleh beberapa negara itu lambat laun menghasilkan akulturasi budaya di Semarang. Hingga sekarang terbukti dengan jejak-jejak peninggalan sejarahnya.

Hilang dari Catatan

Mesjid di Kampung Melayu tahun 1900an (Sumber: kitlv.nl)
Mesjid di Kampung Melayu tahun 1900an (Sumber: kitlv.nl)

Sementara kiai-kiai yang hilang dari catatan sejarah antara lain Kiai Muhammad Nur Sepaton. “Bekas pondok Kiai Muhammad Nur Sepaton itu sebelah kanan Hotel Dibya Puri, dekat Hotel Blambangan Jalan Pemuda,” katanya sembari mengingat catatan-catatannya.

Jarak antara masjid dan pesantren kala itu sangat berdekatan. Bisa dibayangkan, masjid-masjid kuno yang sekarang ini masih ada pun jaraknya tak begitu jauh. Antara Masjid Menara dan Masjid Kiai Sholeh Darat yang sama-sama berada dalam satu kelurahan.

Jarak dari kedua Masjid kuno ini pun sangat dekat dengan bekas pesantren kiai Muhamad Nur Sepaton yang ada di Jalan Bodjong yang sekarang menjadi Jalan Pemuda itu. Lebih ke arah Timur semakin banyak lagi masjid-masjid kuno seperti Masjid Kauman, Masjid As-Sajad, Masjid Beteng Kecil, dan Masjid Pejojan.

Baca Juga  Masjid Menyanan, Masjid Muslim Cina Tahun 1650

”Ayah saya juga punya pondok di Jalan Petek. Hingga tahun 1960 langgarnya (pondoknya) sudah tidak ada lagi. Saya masih ingat pondoknya seperti rumah panggung. Jadi sebetulnya sebelum semua kultur masuk itu, Semarang itu masyakakat santri,” imbuhnya.

Kala Djawahir masih tinggal di Jalan Petek, ia masih ingat dengan suasan keramaian kala itu. Wilayah yang sekarang diterjang rob itu, tatkala waktu sholat tiba, mushola sangat ramai. Keramaian itu karena anak-anak berdatangan ke masjid dengan tujuan sholat dan mengaji.

”Saya merasakan betul (suasana santri-red), kala itu tak kalah dengan daerah Kaliwungu, Kendal. Daerah saya waktu itu ketika adzan maghrib anak-anak masih ramai berdatangan, setelah itu mereka mengaji kepada bapak saya. Sekarang juga sama, kalau waktu sholat ramai oleh speaker, tapi musholanya kosong,” tandasnya. [elsa-ol/Cep]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini