Oleh: Tedi Kholiludin
Sekitar tahun 2007 saya pernah berbincang agak lama dengan seorang Tionghoa Muslim. Itu dilakukan tak lama setelah ia mengeluarkan album “Tembang Dulur Tuwa: Untaian Perjalanan Bathin Seorang Cina Jawa Islam”. Beliau kini sudah almarhum. Panggilannya Mbah Pringis. Namanya, PF Haryanto HS (So Khing Hok). Saya penasaran dengan latar belakang pembuatan album yang diedarkan terbatas itu. Ia berpraktek sebagai “pembaca garis tangan”. Tempatnya agak sulit ditemukan, yakni Gang Cilik 41 di Kawasan Pecinan Semarang.
Satu bulan ia habiskan untuk menulis lirik dan satu bulan pula waktu yang dibutuhkannya untuk merekam seluruh karya di sebuah studio. Kepada saya Mbah Pringis secara terang-terangan menyebut Harjanto Halim sebagai sosok yang berjasa membiayai seluruh proses dari awal hingga penggandaan serta peluncurannya pada Hari Imlek 2007. Obrolan kami saya rekam menggunakan tape recorder. Mungkin lebih dari 2 jam lamanya. Separuh dari percakapan tersebut sempat saya unggah di website elsaonline.com. Belum sempat mentranskrip sisanya, perubahan teknologi (dari kaset ke file) ditambah kelalaian saya, membuat kaset hilang entah kemana.
Lirik yang ditulis Mbah Pringis sangatlah dalam. Ia menggambarkan tentang bagaimana harmonisnya hubungan antara Tionghoa dan Jawa yang kemudian menjadi rusak karena kedatangan Belanda. Mereka kemudian hidup dalam penuh prasangka dan bahkan saling membunuh. Sebagai muslim, tentu posisi Mbah Pringis relatif strategis. Ia menjadi jembatan penghubung antara kebudayaan Jawa dan Tionghoa. Dalam salah satu lagunya, Dulur Tuwa, Mbah Pringis bercerita tentang sosok Cheng Ho seorang Tionghoa Muslim yang melakukan beberapa kali pelayaran ke Nusantara pada abad 15. “Sadurunge zaman londo, Sam Poo Tay Jin (Cheng Ho) soko Cina, mendarat ning tanah Jawa, dagang lan syiar agama”. Begitu petikan syair lagu Dulur Tuwa.
Harmonisnya hubungan antara orang Jawa dan Tionghoa ia tuangkan dalam lagu lain, Bedhug Cina.
Ono bedhug seko negoro Cina
Nyanding kenthongan seko tanah Jawa
Barengan ngawulo
Agama Islam kang mulya
Ning nuswantoro
Terjemahan Bebasnya
Ada bedug dari Negara Cina (Tiongkok)
Bersanding dengan kentongan dari Jawa
Bersama mengabdi Agama Islam yang mulia
Di Nusantara.
Mbah Pringis menjelaskan bahwa lirik yang ia tulis menjelaskan tentang upaya untuk membangun harmoni antara kebudayaan Islam, Jawa dan Cina atau Tionghoa. Caranya adalah menghadirkan simbol-simbol kebudayaan tersebut, yang dalam konteks itu, Islam yang menjadi alasnya. Dialog dengan kultur dimana sebuah masyarakat berpijak, menjadi penting agar tidak membuat sebuah kelompok terisolasi. Tentang filosofi atau makna tembang tesebut, Mbah Pringis bertutur,
Awalnya, saya mau menceritakan kalau bedug itu dari Cina. Kalau lihat Kelenteng, di situ ada dua alat tabuh, lonceng dan bedug. Lonceng ada di Gereja dan Bedug ada di Mesjid. Saya bukan bermaksud menyombongkan Cina. Tetapi Cuma ingin menegaskan bahwa sejak zaman dahulu ada simbol keharmonisan antara bedug dan kentongan. Ini kan hasil tindakan nenek moyang Cina dan Jawa. Ini kan sangat indah. Dan mau saya tonjolkan. Saya dengan Pak Harjanto Halim ingin menunjukan bahwa kami adalah orang Cina tetapi supaya tidak dipentungi atau (untuk) meredam amarah orang Jawa itu gimana caranya. Agama Islam itu kan Mesjid. Dan alat tabuh yang ada di Mesjid itu ya bedug sama kentongan. Di luar negeri tidak ada barangkali. Di Arab yang manggil ya cuma Bilal itu. Tidak ada alat tabuh. Ini ada sesuatu yang indah.
Dengan lirik itu, Mbah Pringis bermaksud untuk menunjukan betapa harmonisnya hubungan orang Tionghoa dengan Jawa melalui simbol bedug. Banyak masjid menggunakan bedug sebagai alat penunjuk tibanya waktu sholat. Dan bedug itu adalah produk kebudayaan masyarakat Tionghoa.
Dalam salah satu tembangnya yang berjudul “Dzikir”, Mbah Pringis mengutip salah satu ayat dalam surat al-Fatihah; Iyyaaka Na’budu wa Iyyaaka Nasta’in.” Ayat ini tidak hanya menjadi inspirasi bagi penulisan liriknya, tetapi juga kehidupan privatnya. Dan juga ada beberapa ayat lain yang juga menginspirasi dirinya. Ia mengaku agak ragu sebenarnya ketika hendak memasukan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam lirik lagunya. Kepada saya, dia mengatakan, “saya deg-degan saat itu. (ayat) ini dimasukkan atau tidak karena takut salah.” Ia menyadari bahwa sebagai Tionghoa, cara dia melafalkan tentu tidak sama. “Apalagi lidah saya kan lidah Cina jadi agak kaku. Mbuh, bener mbuh ora nyebute,” akunya.
Ayat kelima surat al-Fatihah itu memiliki cerita yang agak personal. Kata Mbah Pringis, karena ayat itulah ia masuk Islam pada Idul Fitri tahun 2004. Baginya, sebagai manusia, satu-satunya yang layak dimintai dan disembah hanyalah Tuhan, bukan manusia. Kedalaman psikis yang didapat dari ayat ini yang kemudian dengan segala tekad bulat yang dimilikinya, kutipan Iyyaka Na’budu wa Iyyaaka Nasta’in itu dilafalkan sebagai bagian dari lirik lagu Dzikir.
Firman lainnya yang memberinya inspirasi adalah surat al-Hujurat ayat 13, Ya ayyuhannas, inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa, wa ja’alnakum syu’ubaw wa qaba-ila, lita’arafu. (Hai manusia! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu dengan perantaraan laki-laki dan perempuan, serta Kami jadikan kamu bersuku-suku dan bergolong-golongan, supaya kamu saling mengenal). Ayat ini yang kemudian ia daratkan dalam lirik “menungso diciptakno bedo bongso, supaya kenal pungkasane tresno.”
Untuk menunjukkan keagungan dan kemahaluhuran Tuhan, Mbah Pringis mengutip dua bacaan dalam sholat, ketika ruku’ dan sujud; subhaana rabbiyal ‘adziimi wa bihamdih dan subhaana rabbiyal a’la wa bihamdih. Lalu ada juga kutipan tentang rukun Islam seperti sholat dan puasa, juga amal jariyah. Dalam lirik ora ono menungso sing sempurno ia maksudkan bahwa manusia itu jangan membenarkan diri sendiri, karena tidak ada yang sempurna. Jadi meski Islam itu mayoritas harusnya melindungi yang minoritas, jangan menekan.
Mbah Pringis mengaku kalau ada banyak syair di lirik lagunya yang menggunakan kata ojo, atau jangan. Disini, ia sebenarnya hendak melakukan kritik kepada kaumnya, kelompok Tionghoa. Kata larangan ini, kata Mbah Pringis berkaitan dengan prilaku umum orang Tionghoa yang kerap minggat (ini bahasa Mbah Pringis sendiri). Ia kemudian melanjutkan bahwa pergerakan cepat orang Tionghoa dari satu tempat ke tempat lainnya itu dilakukan karena beberapa sebab. Pertama, mereka pergi ke tempat yang lebih nyaman karena dimusuhi “pribumi” setempat. Kedua, kalaupun orangnya tidak pergi, tetapi duitnya yang dititipkan di luar negeri. Karena berkaitan dengan kekhasan ciri itu, maka ia mengajak mereka untuk kembali lagi. Tetapi kembalinya jangan sampai melakukan perbuatan molimo. Kalau tetap melakukan, percuma saja.
Salah satu cara untuk mengingatkan sesama orang Tionghoa, Mbah Pringis menulis lirik, elingo leluhur siro, poro santri soko Cina. Orang Tionghoa itu adalah kelompok yang sangat memuja leluhurnya. Jadi kalau leluhurnya yang santri itu disebutkan itu harapannya agar mereka takut kepada leluhurnya. Jadi orang Cina itu mau melakukan apapun jika mengingat apa yang oleh leluhurnya diajarkan atau dikatakan. Dan Cheng Ho itu adalah leluhurnya. Karenanya, mendekat dan tinggalah di Indonesia karena Cheng Ho pernah datang kesini. Ia mengingatkan hal tersebut melalui lirik-liriknya.
Sosok Mbah Pringis sangat menarik karena tekadnya yang kuat untuk terus mengembangkan semangat Islam yang terbuka, egaliter dan jembatan perekat antar kebudayaan. Latar belakang pembuatan album “Dulur Tuwa” salah satunya adalah karena kesadaran bahwa ia adalah seorang keturunan Tionghoa, tinggal di Jawa dan menganut ajaran Islam. Ketiganya merupakan kesatuan integral dan punya porsi masing-masing. Karena bukanlah seorang pendakwah (dalam pengertian konvensional), maka ia memutuskan untuk menulis lirik. Suaranya mungkin tidak merdu untuk ukuran artis profesional, tapi liriknya sangat inspiratif. Lirik yang ditulisnya, tak hanya kata tanpa makna, tapi inspirasinya kerap datang dari bacaannya ayat-ayat al-Qur’an.
Beberapa lagu ia tulis dengan lirik berbahasa Jawa. Sekali lagi, ini sebagai penegas bahwa Mbah Pringis tak hanya ingin sekadar menunjukkan keislaman dan ketionghoannya saja, tetapi juga turut serta mewarnai karyanya dengan entitas Jawa. Penegasan tentang Islam sebagai agama pembawa damai ditegaskan melalu lirik “medun ora gowo tumbak lan pedange, tapi kupluk lan kelambi koko.” Menurutnya, ketika Cheng Ho datang ke nusantara, yang dilakukan adalah diplomasi kebudayaan, bukan dengan agresi dan kekerasan.
“Tembang Dulur Tuwa” menghadirkan semangat yang terus menerus sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Secara esensi, harmonisasi hubungan tiga elemen kebudayaan; Jawa, Tionghoa dan Islam tergambar dengan apik disertai sisipan filosofi dan simbol masing-masing kebudayaan. Tak hanya soal esensi, medium seni (lagu, tarian dan sebagainya) juga masih relevan, setidaknya untuk konteks saat ini. Pendekatan kebudayaan dalam membangun dialog memang membutuhkan waktu sampai pada hasil. Tetapi, daya rekatnya lebih kuat ketimbang pendekatan-pendekatan yang bersifat politis. Tembang Mbah Pringis merupakan salah satu produk yang relatif orisinil sebagai jembatan untuk menguatkan hubungan antara Santri dan Tionghoa di Semarang.
Jika ada pertanyaan tentang bagaimana hasil akhir dari interaksi antara kebudayaan santri dan Tionghoa, maka potret tentang Santri Tionghoa seperti Mbah Pringis ini adalah salah satu penandanya (dengan agama sebagai denominatornya). Bertemunya kosmologi santri dan Tionghoa ada pada penghargaan mereka terhadap leluhur serta adat istiadat yang diwariskannya. Jika denominatornya adalah kebudayaan, maka Tembang Dulur Tuwa-lah yang menjadi resultan dari bersuanya kultur santri dan Tionghoa. Termasuk, Gambang Semarang, Warak Ngendog dan lainnya.
Saya sekadar menyebut Mbah Pringis sebagai representasi dari kalangan “muslim santri” karena tidak semua orang Islam ada dalam jalur kesantrian ini; mempertahankan budaya sebagai medium untuk menyebarkan nilai-nilai agama. Jadi Mbah Pringis hemat saya merepresentasikan Santri Tionghoa sekaligus produsen kebudayaan hibrid yang dinamis.