Cerita Orang-orang Kepercayaan di Balik Tragedi 1965 (1)

Semarang, elsaonline.com – Sanmardi namanya. Pria paruh baya ini masih kuat ingatannya saat bercerita rangkaian demi rangkaian peristiwa seputar tragedi tahun 1965. Sanmardi kini masih menjadi Ketua Paguyuban Jawa Sejati (Pajati). Pajati adalah salah satu kelompok Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berpusat di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah.

Sanmardi mengawali cerita perihal tragedi 1965 dengan menyebut tokoh Perintis Kemerdekaan. Versi para sesepuh Penghayat Kepercayaan, perihal ideologi negara ini dirintis empat tokoh yakni Raden Mas Hadi Kusumo, Bung Karno, Semaun, dan KH Wahid Hasyim. Pada tahun 1930, Raden Mas Hadi Kusumo menekuni kebudayaan. Sementara Soekarno bertugas mengurus urusan Nasionalis dan KH Wahid Hasyim mengurus tentang agama.

“Kalau Semaun itu menggarap isu Kaum Mines, bukan Komunis (sebagaimana yang kita pahami dengan PKI). Kaum Mines yang dimaksud adalah semua rakyat Indonesia yang menderita akibat dijajah Belanda selama 350 tahun. Maksudnya, mines pendidikan (akibat dijajah) berati yang Mines ekonomi juga. Waktu jaman penjajah kan tidak boleh sekolah kalau bukan anak pejabat,” kata Sanmardi.

Versi sesepuh penghayat, pada tahun 1960 hingga 1962, Soekarno membentuk Nasakom (Nasional, Agama, dan Kaum Mines). Sayangnya, kata Sanmardi, Kaum Mines diidentikan denan PKI. Padahal PKI dibentuk oleh penjajah Belanda, Van De Blasch Westerling yang sama sekali berbeda dengan Kaum Mines bentukan Semaun.

“Sama dengan kelompok agama yang kemudian ditunggangi oleh DI/TII. Alasan para penjajah itu menunggangi agar negara ini gontok-gontokan. Itu hanya pancingan dari luar. Akhirnya, itu kan alat untuk meringkihkan (membuat rapuh) bangsa kita, agar penghasilannya dapat dinikmati oleh orang sana,” kata Sanmardi.

Rahasia Besar

Baca Juga  Status Penghayat Masih Menghambat Karier

Meski sudah berumur, Sanmardi masih lugas dan jelas menceritakan kejadian demi kejadian seputar 1865 yang menyangkut eksistensi kelompok Kepercayaan. Tahun 1965, katanya, PKI mulai terang-terangan terlibat. Saat diminta menjelaskan siapa sejatinya dalang dibalik tragedi 1965, Sanmardi tidak berani menyampaikan. Meski ia mengaku tahu aktor utama dan tujuannya, namun belum akan mengungkapnya.

Hematnya, itu merupakan rahasia besar karena sumber yang bercerita sudah meninggal. Karenanya ia tidak berani menyampaikan ke publik. Sanmardi akan bercerita jika masih diberi umur panjang hingga tahun 2045. Ia hanya menyampaikan perumpamaan maling teriak maling. Akhirnya yang benjut, yang kecopetan (kemalingan).

“Soalnya belum masanya. Mbah Sumiyar diutus Pak Karno untuk masuk ke situ. Memang ada rekayasa-rekajaya bagaimana Pak Karno harus dibunuh dan bagaimana orang-orang untuk korban (dikorbankan). Saya belum berani cerita secara gamblang. Nanti apabila keselamatan bisa dijamin penuh, apa boleh buat. Tapi sekarang, kata-kata dan pelaksana (antara cita-cita negara dan keadaan realita belum dilaksanakan penuh,” katanya.

Sanmardi hanya mengatakan, itu semua rekayasa bersama kekuatan dari luar negeri. Hematnya itu semua bermula ketika Soekarno berpidato di Gedung Putih yang mengatakan ‘Pancasila untuk membasmi antaranya kapitalis dan imperialisme’. Akhirnya, pihak-pihak yang bersinggungan merasa marah.

Perjanjian Sabdo Palon

Saat disinggung kenapa harus tahun 2045, ia baru berani mengungkapkan rahasia besar itu, karena pada tahun itu akan ada perubahan besar. Perubahan itu harus dan akan menelan pengorbanan yang sangat besar. Ada kata-kata; ‘siapa nanam, maka mengunduh’. Pada tahun itu akan ada pergantian peradaban besar-besaran yang akan merubah tatanan kenegaraan.

“Ciri-cirinya dari Perjanjian Tatanan Wali. Itu diambil dari 1563 M. Dimulainya itu dari tatanan Wali. Itu memiliki kontrak 480 tahun yang saat ini kurang 23 tahun lagi. Sekarang perjanajian itu baru 457 tahun. Ya perjanjian itu antara Sabdo Palon dengan Syaikh Subakir. Pada masa kerajaan dulu, 500 tahun lalu, semua pejabat harus Hindu.”

Baca Juga  Sekolah Warga Negara, Generasi Muda Ahlul Bait Diajak Fokus Manfaatkan Potensi

Lalu 500 tahun berikutnya, ada tatanan Buddha. Lalu ketika peradaban Buddha runtuh, ganti dengan peradaban Islam. Saat ini meski banyak orang cerdas dan bijak jika tidak Muslim sulit untuk menjadi Presiden. “Sampai sekarang, mana ada kerajaan tersisa (penguasa atau Presiden) yang mengaku Buddha atau Hindu, sekarang ya mengaku Islam,” pungkasnya. (Ceprudin)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2023

Laporan tahunan kehidupan keagamaan di Jawa Tengah tahun 2023...

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini