Cerita Orang-orang Kepercayaan di Balik Tragedi 1965 (2)

Kebumen, elsaonline.com – Tragedi politik dan kemanusiaan tahun 1965 menyisakan cerita-cerita pilu bagi orang-orang Penghayat Kepercayaan. Banyak kelompok Kepercayaan yang onggotanya porak poranda. Karena tekanan hebat dari penguasa serta aparat desa setempat, para Penghayat banyak yang meninggalkan ajaran leluhurnya. Bahkan, demi keamanan ada kelompok Kepercayaan yang harus rela membekukan organisasinya.

Kawruh Naluri atau yang di kalangan Penghayat dikenal dengan KWN, salah satu organisasi Kepercayaan yang menjadi korban kemelut politik 1965. Kepercayaan yang didirikan tahun 1917 oleh Ki Bagus Hadi Kusumo ini sempat membekukan diri demi keamanan dan keselamatan anggotanya. Hingga pada perkembangannya kelompok Kepercayaan ini pecah menjadi tiga kelompok Kepercayaan (di lain tema, semoga bisa saya tuliskan).

Pasca Kemerdekaan 1954, Kawruh Naluri mulai menikmati buah perjuangannya. Setidaknya hingga 1955, para anggota Kawruh Naluri merasakan kebebasan untuk beribadah dan menjalankan ajarannya. Sekitar 40 hari sekali, mereka mengadakan “ibadah berjamaah” di Sanggar Pusat di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Ibadah ini di luar yang dilakukan oleh masing-masing organisasi di daerah masing-masing.

Seiring berjalannya waktu, ajaran Kawruh Naluri menyebar sepanjang Jalur Selatan Jawa Tengah. Antara lain Kebumen, Banyumas, Cilacap, Purworejo dan tentunya di Yogyakarta. Bahkan, ajaran Kawruh Naluri yang berpedoman pada “Wet Kodrat Hukum Adat” ini menyebar hingga Lampung dan luar Pulau Jawa Lainnya.

Difitnah PKI

Menjelang ontran-ontran politik 1965, pada tahun 1959 para pengurus Kawruh Naluri sepakat mendirikan Yayasan Setiaki. Di bawah Yayasan ini kemudian mampu mendirikan di antaranya gedung pendopo, sanggar, gedung kumpul, gedung panti, gedung kebudayaan, gedung poliklinik, dan gedung darmawangsa.

“Lantas, setelah tahun 65, banyak fitnah dari pejabat bawahan dari kabupaten sampai desa. Dianggapnya di sini (orang-orang Penghayat Kawruh Naluri) itu orang PKI. Pada saat itu (1965), orang yang tidak sembahyang secara islami, dianggap PKI,” kata Sesepuh Kepercayaan Paguyuban Jawa Sejati, Pajati (pecahan dari Kawruh Naluri), saat ditemui di rumahnya akhir 2022 lalu.

Baca Juga  Pemakaman Sapta Darma Brebes Bukan Bantuan Dari Pemerintah

Fitnah dan tekanan sosial datang bertubi-tubi. Hingg akhirnya, pada tahun 1977 Kawruh Naluri membekukan diri atas dasar inisiatif dari pengurus teras. Tahun 1979, mereka mencoba mengadakan pertemuan Jumat Kliwonnan. Sayangnya, pertemuan itu harusnya 14 kali, ternyata baru 5 kali pertemuan Ki Nurhadi, Penerus Ki Bagus Hadi Kusumo wafat.

“Sebelum wafat, Raden Nur Hadi berangkat ke Semarang ke bapak Tulus Kusumo Budoyo. Bermalam tiga hari tiga malam di sana. Malam terakhir, Raden Nur Hadi pasrah menanyakan KWN (Kawruh Naluri) sekarang namanya harus apa? Lantas pak Tulus Kusumo Budoyo mengasih nama Paguyuban Jawa Naluri (PJN), tahun 1981. PJN berjalan tujuh tahun (sejak 1981-1987),” sambung Sanmardi.

Kesulitan Akta Nikah

Setelah rentetan kejadian itu, jalan organisasi berliku-liku. Mereka mengalami hambatan dalam pencatatan perkawinan, pendidikan, labeling PKI dari masyarakat sekitar dan juga perangkat desa. Sanmardi bercerita, dirinya pernah mengurus hingga Pengadilan supaya perkawinan bisa dicatatkan, namun pada akhirnya gagal.

“Pada waktu ada informasi sempat bisa dicatatkan di kantor catatan sipil dengan syarat sudah mendapat rekomendasi dari pengadilan negeri daerah setempat. Tapi setelah saya upayakan, sidang sampai tiga kali (di Pengadilan), sama pendaftaran delapan kali, itu ditolak. Itu pada tahun 2005. Akhirnya, saya merangkum surat, saya tujukan kepada bapak Presiden RI, bapak Menteri Dalam Negeri, bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” katanya.

Sanmardi masih sangat ingat, ketika itu ia mengikuti hasil rangkaian sidang MPRS tahun 1973 yang salah satu pembahasannya Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945: “Bangsa Indonesia percaya dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ayat 2: Negara melindungi segenap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama masing-masing dan kepercayaan itu”.

Baca Juga  Tercatat ada 10 Kasus Sara pada Pemilu Serentak di Jateng

Hematnya, pada pasal itu ada dua substansi yakni; agama dan kepercayaan. Meski sudah ada pasal itu namun di akar rumput masih rawan sekali bagi kelompok Kepercayaan. Pada tahun 1978, sidang MPR digelar kembali. Adanya agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, masuk dalam GBHN.

Fakta Sejarah

“Yang tidak setuju itu PPP pada waktu itu. Dan ini fakta sejarah lah. Agama dikelola oleh Departemen Agama. Lantas penghayat Kepercayaan dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tapi, faktanya, di sekolah, masih belum ada pendidikan kepercayaan yang dimasukkan ke sekolah (kala itu). Akhirnya, anak didik ditakut-takuti, kalau penghayat tidak bisa masuk sekolah,” ujarnya.

Pada rapot sekolah, ditulis agamanya Islam. Akhirnya, anak-anak Penghayat Kepercayaan harus mengikuti syariat-syariat Islam. Banyak pula pada waktu yang mengikuti agama Buddha dan tentu juga harus mengikuti ajaran agama Buddha. Pada saat itu generasi peneruh Penghayat Kepercayaan “dipreteli”.

Sanmardi dan istrinya, kini tinggal di rumah tua yang dibangun sejak masa penjajahan. Di rumahnya ada kursi-kursi kayu berjajar dan satu meja kayu kecil seperti untuk rapat kecil-kecilan. Pada dinding rumah kayu yang ia tinggali, menempel beberapa dokumen sejarah. Dokumen itu merupakan sejarah perjalanan dirinya sebagai seorang penghayat Kepercayaan berkenaan dengan administrasi kependudukan.

Dari sekian dokumen yang menempel, salah satunya ada “surat keterangan tidak terlibat G.30.S/PKI. Dalam surat keterangan itu ditulis bahwa Sanmardi “setelah diadakan penelitian hingga pada saat dikeluarkannya Surat Keterangan ternyata tidak terdapat bukti-bukti maupun petunjuk bahwa yang bersangkutan terlibat dalam G.30.S/PKI”. (Ceprudin)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini