
Salatiga, elsaonline.com – Udara segar menyelimuti malam. Suasana tenang, damai, dan hawa sejuk mengiringi perbincangan hangat puluhan remaja. Di sebuah tempat yang dikelilingi rerimbunan pohon, para muda-mudi yang berbeda agama dan keyakinan itu merajut harmoni.
Perbincangan mereka tampak tanpa sekat. Antara yang mengenakan kerudung ukuran sedang, kerudung lebar, berambut terurai mengombak, berkulit putih dan bermata sipit, dan berkalung salib asik bersenda gurau. Sesekali di antara mereka melemparkan gojekan yang membuat suasana jadi ger-geran riang.
Ya, mereka adalah peserta Pondok Damai. Mereka adalah perwakilan dari generasi muda NU, Ahmadiyah, Syiah, Kristen Unitarian, Trinitarian, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, dan Penganut Kepercayaan.
Para kaum muda inilah yang sedang merajut persaudaraan lintas agama dan kepercayaan. Melalui dialog intens, ngobrol informal, dan mondok singkat bersama itulah prasangka buruk dipupus hingga sirna.
”Pondok Damai ini tujuan utamanya adalah memupus prasangka buruk terhadap keyakinan orang lain. Karena terkadang, konflik berlatar agama itu berawal dari kecurigaan,” kata Ketua Panitia Pondok Damai Setyawan Budi, Sabtu 7 April 2018 di lokasi acara.
Digagas Anak Muda
Pondok Damai sendiri, merupakan kegiatan yang digagas anak-anak muda lintas agama dan kepercayaan di Semarang. Mula-mula dari ide seorang Pendeta muda Rony Candra Kristanto, Pondok Damai direncanakan.
Bersama aktifis muda Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Tedi Kholiludin dan aktifis muda Katolik Lukas Awi Kritanto, Pondok Damai pertama kali berhasil diselenggarakan pada tahun 2007.
Sejak 2007 itu, Pondok Damai rutin diselenggarakan setiap tahun hingga sekarang. Tempat diselenggarakan Pondok Damai pun berbeda-beda. Kali ini, Pondok Damai diadakan di Muria Training Center Kota Salatiga.
“Peserta Pondok Damai ini membayar secara sukarela. Namun dari iuran sukarela peserta tidak cukup, maka ada beberapa donatur, baik pribadi maupun lembaga yang menyumbang kegiatan ini. Pada intinya, kegiatan ini diselenggarakan secara sukarela,” sambung Wawan.
Awi, sapaan akrab Lukas Awi Kristanto menyampaikan, materi pokok Pondok Damai ada tiga. Awi mengatakan, tiga materi itu ”mengapa harus beragama X”, ”pengalaman tidak mengenakan dalam relasi dengan agama lain”, dan ”pengalaman mengenakan dalam berjumpaan dengan agama lain”.
Tiga Materi
”Tiga materi itu penting. Dan semua peserta harus menyampaikan pengalaman masing-masing tanpa bisa diwakilkan. Pengalaman seseorang, meskipun satu agama bisa saja berbeda dengan temannya yang satu agama,” katanya, pada rapat persiapan Pondok Damai.
Untuk lebih mengakrabkan peserta, panitia juga membuat aturan yang harus dipatuhi peserta selama kegiatan. Diantaranya, peserta yang keyakinanannya sama tidak boleh satu kamar dan selama sesi kegiatan tidak boleh duduk berdampingan.
Khusus pada sesi materi pengalaman ”tidak menyenangkan” ada aturan yang harus dipatuhi. Diantaranya, tidak boleh tersinggung ketika agama atau kepercayaannya disebut, tidak boleh memotong cerita orang lain, dan tidak boleh mengarang cerita.
Pengalaman yang tidak mengenakan penting diungkap. Karena itulah yang membuat orang lain sadar, bahwa perlakuan terhadap agama lain, dalam kadar tertentu menyinggung atau menyakitkan.
Cerita Perjumpaan
Ada satu cerita tidak menyenangkan dari peserta Ahmadiyah yang membuat semua peserta terdiam dan haru. Peserta yang kala itu masih duduk di bangku sekolah mengisahkan saat ia lari pontang-panting melintasi persawahan untuk menghindari serangan masa yang membabi buta.
”Saya berlari melintasi persawahan di malam hari untuk menghindari segerombolan masa yang mengamuk di perkampungan Ahmadiyah. Sampai akhirnya saya dan beberapa teman sampai di sebuah mushola dan kami istirahat hingga pagi hari. Kala itu saya takut sekali karena takut nyawa saya hilang,” kata Hajjar Ummu Fatih.
Tampaknya, suasana riang, akrab, rekat itu saat para peserta sudah mengikuti kegiatan dua hari. Pada mulanya, mereka masih canggung-canggung dalam berinteraksi. Pasalnya, mayoritas dari mereka pada Pondok Damai itulah pertama kali berjumpa dengan agama dan keyakinan yang lain.
Pengalaman demi pengalaman masing-masing peserta dalam hubungannya dengan agama lain disampaikan. Tujuannya, supaya semua peserta terbuka pemikirannya bahwa yang berlaku menindas atas dasar agama, bukan karena agamanya yang salah. Tapi karena mental pelakunya. [Cep/002]