Oleh: Ceprudin
Judul : Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim
Jumlah halaman : 323+xxii
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Tahun Terbit : Januari, 2011
Ketegangan antara agama dan demokrasi seusia dengan filsafat politik itu sendiri. Kita mengingat bahwa Athena yang demokratis mengadili Sokrates atas dua tuduhan, merusak pikiran para pemuda dan ketidaksalehan agama. Hingga hari ini masih menjadi perdebatan dikalangan para ahli sejarah apakah para pendahulunya lebih memedulikan kejahatan agama atau politiknya.
Di zaman modern, secara sekilas hubungan antara agama dan demokrasi terlihat bertentangan dan konfliktual. Kedua konsep tersebut berbicara mengenai dua aspek yang berbeda dengan manusia. Agama adalah sbeuah sistem kepercayaan dan pribadatan yang berkaitan dengan Yang Ilahi dan Yang Suci. Dengan demikian agama lebih metafisik serta memiliki orientasi dan tujuan pada akhirat.
Disisi lain, demokrasi lebih bersifat duniawi, sekular dan egaliter. Tanpa memperhatikan latar belakang agama, ras, atau kepercayaan politik demokrasi menawarkan persamaan hak dan perlakuan di depan hukum bagi seluruh warga negara tanpa adanya diskrimimasi. Tujuan akhirnya diarahkan menuju pengelolaan urusan-urusan manusia tanpa kekerasan dalam rangka menciptakan tatanan kehidupan yang baik di dunia, bukan di akhirat kelak.
Perbedaan besarnya adalah bahwa tidak seperti perintah agama, aturan-aturan demokrasi bisa diubah, disesuaikan dan diperbaiki sesuai konteks zaman. Sifat inklusif inilah yang akhirnya memisahkannya dengan agama dan sistem politik yang memiliki basis teologi. Salah satu cara untuk menggambarkan ketegangan teoritis antara agama dan demokrasi adalah dengan membayangkan sebuah sumbu horisontal dan vertikal.
Agama pada dasarnya adalah hubungan vertikal antara seseorang dengan dengan Tuhannya. Dalam bentuknya yang paling dasar, agama tidak perlu mempengaruhi atau memperhatikan anggota masyarakat yang lain. Sementara demokrasi adalah sebuah pengelolaan politik yang secara fundamental melibatkan hubungan horizontal antara individu dalam masyarakat. Pengertian dasarnya tidak menyebut-nyebut sedikit pun mengenai Yang Ilahi maupun Yang Transenden. Hingga akhinya terjadi sebuah titik ketegangan muncul ketika kedua sumbu ini bersebrangan.
Sebuah titik ketegangan yang jelas adalah saat anggota masyarakat mencoba memasukan hubungan vertikal mereka dengan Tuhan kepada ruang publik yang horizontal sebagai cara untuk mengatur hubungan sosial. Dengan kata lain saat landasan moral dari otoritas politik yang sah tidak lagi hanya didasarkan kepada sumbu horizontal tetapi bergeser ke arah sumbu vertikal yang berlandaskan pada Tuhan, disini demokrasi telah mengalami kompromi.
Dengan adanya pertentangan, maka buku ini akan menentang ketidakcocokan antara vertikal dan horizontal. Antara ketidakcocokan struktural antara politik agama dan perkembangan demokrasi liberal. Untuk melakukannya maka ada tiga argumen kunci yang akan dibahas.
Argumen pertama terkait dengan hubungan antara demokrasi liberal dengan sekularisme. Ada dua hal yang harus diperhatikan: pertama, tradisi-tradisi agama tidak lahir di tengah masyarakat manusia dengan predisposisi yang pro-demokrasi dan sekuler yang inheren. Secara normatif dalam masyarakat yang religius, prospek jangka panjang sekularisme politik lebih baik ketika tidak dipaksakan dari atas ke bawah. Melainkan lahir dari bawah. Berdasarkan pada konsensus demokrasi mengenai peran agama dalam pemerintahan.
Yang kedua, dan sama pentingnya adalah tentang beragam model sekularisme yang dapat diakomodasi oleh demokrasi liberal. Disini bagaimana kita sekularisme kemudian di definisikan menjadi penting dalam pembicaraan ini. Hal ini menjadi lebih penting lagi dalam konteks upaya penggabungan teori demokrasi-liberal untuk masyarakat Muslim. Mengingat besarnya peran agama urusan publik di Dunia Islam dan banyaknya perspektif negatif kaum Muslim terhadap sekularisme.
Argumen kedua adalah bahwa dalam masyarakat di mana ada agama, maka agama merupakan penanda identitas yang utama. Jalan menuju demokrasi liberal, seperti apa pun lika-likunya tidak akan bisa terhindar untuk melewati gerbang politik keagamaan. Negosiasi demokratis dan tawar menawar mengenai peran normatif agama dalam pemerintahan adalah bagian tak terpisahkan dari transisi menuju demokrasi liberal dan konsolidasinya.
Argumen penting ketiga adalah bahwa adanya hubungan yang erat baik —teoritis maupun historis— antara reformasi keagmaan dan perkembangan politik. Yang pertama reformasi keagamaan cendrung mendahului yang kedua. Meskipun keduanya saling terhubung dan menguatkan satu sama lain. Perkembangan demokrasi liberal tidak mensyaratkan penolakan aturan privatisasi agama, namun memerlukan sebuah penafsiran ulang terhadap gagasan keagamaan. Dengan melibatkan diri dalam reformasi teologi, maka kelompok-kelompok agama dapat memainkan peran konstruktif dan penting dalam perkembangan dan konsolidasi demokrasi liberal.