Pemimpin Gerakan Sosial Harus Konsisten Merawat Keberagaman

Yogyakarta-elsaonline.com. Sekretariat Nasional (Seknas) Gusdurian menyelenggarakan “Workshop Jejaring Advokasi Keberagaman Wilayah Jateng dan DIY”, acara yang akan berlangsung selama tiga hari mulai Jum’at hingga Ahad ini diadakan di Hotel Museum Batik Yogyakarta (12/05).

Latar belakang diadakannya acara ini belajar dari tahun 2014 yang ketara antara pendukung kedua calon presiden waktu itu, masyarakat gerakan sipil sudah menjatuhkan pilihan serta gerakannya untuk disalurkan kemana pilihannya, begitu juga di tahun 2019 masih menggunakan proses yang sama namun sebelumnya menjadi rival, presiden terpiliih, jokowi, menggaet prabowo dijadikan bagian dari pemerintah untuk mengemban amanah sebagai menteri pertahanan.

Menurut Jay, selaku Koordinator Seknas Gusdurian Nasional dalam sambutannya, pada tahun 2022 belum tergambar, kawan-kawan masyarakat gerakan sipil sampai detik ini belum terlihat konsolidasi-konsoliidasi yang terjadi. Yang muncul malahan konsilidasi di tingkat kalangan elit yang menggunakan momentum bulan syawal sebagai halal bi halal politik dengan memperbincangkan tentang pencapresan dan pencawapresan. Hal ini menunjukkan di level elit baru memperbincangkan hal sebatas itu, belum membicangkan perbaikan untuk Indonesia.

“Berawal dari itu, pentingnya kawan-kawan diajak oleh komunitas Gusdurian untuk mengkonsolidasikannya, sifatnya kami hanya memfasilitasi saja, kalau dirasakan pemilu masih lama, ya tidak begitu lama juga, tahun depan,” tegas Jay.

Dia mencontohkan kejadian di tahun 2017 (pilkada DKI Jakarta-red) terjadi polarisasi masyarakat atas nama agama karena politik. misalnya karena beda pilihan politik, tidak akan mau mensalati jenazahnya kalau mati. Dengan begitu kedewasaan masyarakat dalam berpolitik dan juga keberagaman terus diuji.

“Makanya ayo, politik adalah sesuatu yang penting di dalam kehidupan demokrasi di negara ini, begitu pula mengelola keberagaman serta masyarakat yang beragam di Indonesia ini, dan yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan, hal itu sebagaimana yang dipegang teguh oleh Gus Dur,” papar pria alumni jurusan filsafat Universitas Gajah Mada.

Baca Juga  Dolly Ditutup Muncul Lokalisasi Baru?

Alasan dihadirkannya kawan-kawan dari kalangan muda, kalangan tokoh agama dengan harapan kedua generasi ini supaya dapat bertemu dan dapat berkonsilidasi dengan frekuensi yang sama, sehingga dapat berkolaborasi.

Jay juga memaparkan hasil riset dari Setara Institute terkait dengan situasi keberagaman di Indonesia tahun 2021. Kalau dibagi dalam area desa dan kota, mengenai toleransi di desa masih kuat, 67 persen daripada di kota, 65 persen, meskipun secara angka presentase hanya selisih dua persen.

Kalau kita melihat dengan persepsi masyarakat terhadap minoritas, dalam data yang ditampilkan, antara mayoritas dan minoritas itu memiliki posisi yang setara di angka 53 persen, di angka 23,7 persen, agama mayoritas mengayomi minoritas, dan di angka 22,3 persen, mayoritas harus melindungi minoritas, akan tetapi minoritas harus tahu batas.
Ada kekhawatiran Jay dalam persepsi masyarakat yang masih di angka 53 persen ini, menurutnya, secara presentase memang besar, akan tetapi apakah ini yang dinamakan dengan silent majority.

Sambutan Jay diakhiri dengan menampilkan 10 kota tertinggi dan terendah toleransi di Indonesia pada tahun 2022, begitu pula faktor apa saja yang memengaruhinya serta peran pemerintah soal regulasi dan tindakannya terjadi peristiwa dengan menegakkan dalam hal hak konstitusi, dan juga gerakan masyarakat sosial berdasarkan Data Indeks Kota Toleran 2022 Setara Institute .

“Harapannya kawan-kawan dari komunitas Gusdurian ini sebagai penggerak keberagaman terus dan konsisten melanjutkan gerakannya, Gus Dur sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan” pungkas Jay. (RA).

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Jalur Eskalasi dan Deeskalasi Konflik

Oleh: Tedi Kholiludin Konflik, dalam wacana sehari-hari, kerap disamakan dengan...

Tiga Pendekatan Perdamaian

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam artikel “Three Approaches to Peace: Peacekeeping,...

Wajah-wajah Kekerasan: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung (1990) dalam Cultural Violence membagi...

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini