Mayadina Rohmi Musfiroh : Keadilan Sosial Ala Gus Dur

Yogyakarta-elsaonline.com. Hari pertama “Workshop Jejaring Advokasi Keberagaman Wilayah Jateng dan DIY”, para peserta dibekali materi keadilan sosial. Meskipun sudah familiar, harapannya dengan adanya materi ini sebagai dasar bagi para aktifis pergerakan dalam melangkah melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Jum’at, (12/05).

Berbicara tentang ketidakadilan sosial dalam masyarakat, setidaknya ada tiga unsur utama yang memengaruhi di dalamnya, yaitu ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik.

Salah satu indikator keberhasilan pemerintah Indonesia di dalam menegakkan pembangunan yang berkeadillan yaitu dengan melihat IGR (Index Gini Ratio) yang diterbitkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik). Gini Ratio adalah menggambarkan pemerataan dan ketimpangan secara keseluruhan, mulai dari pendapatan hingga distribusi. Rentang skor 0 s/d 1. Indeks 0 menunjukan pemerataan total, sedangkan 1 terjadi ketidak merataan atau ketimpangan sama sekali.

“Bisa kita perhatikan, adanya ketimpangan pengeluaran masyarakat di pedesaan dan di perkotaan seperti apa itu dapat dilihat di sana,” jelas perempuan yang kerap disapa Maya.

Data tahun 2022, IGR di perkotaan 0,4, adapun di pedesaan 0,3. Dari data ini dapat dilihat kalau ketimpangan di kota lebih parah. Jika digabungin kedua data tersebut (perkotaan dan pedesaan), maka dapat dilihat hasilnya adalah 0,31.

Perlu diketahu, ini lah IGR yang diraih oleh Gus Dur ketika menjadi presiden yang dapat menurunkan ratio sebelumnya dari 0,37 di tahun 1999 kemudian menjadi 0,31 di tahun 2001.

“Itu berarti, pada waktu kepemimpinan Gus Dur setelah sekian tahun yang lalu, ini ketimpangan tidak bergeser,” jelas Maya.

Menurut dia, akar masalahnya ada di role model ekonomi. Karena indonesia menganut sistem neoliberalisme paska reformasi masih dilanjutkan. Masih menganut ekonomi pertumbuhan (yang semu-red), bukan werner state. Apalagi paradigma ekonominya masih sama, begitu pula aktornya masih sama, hanya beda commite-nya saja.

Baca Juga  Buah Perjuangan Gus Dur di Daerah Konflik Timur Tengah

Maya mengajak peserta untuk kilas balik kejadian di tahun 2000, pertumbuhan ekonomi waktu itu sebesar 4,9, awal mengalami kenaikan pada awal reformasi. Mengapa setelah dua puluh tahun pertumbuhan ekonominya hanya berkutat di sekitar angka itu saja. Dijelaskan pula beberapa alasan yang turut memperkuat pernyataannya, menurut dia, orientasinya saat ini selalu pada pertumbuhan ekonomi daripada pertumbuhan penghasilan perkapita warganya. Kemudian lebih fokus pada pembangunan fisik (infrastruktur) daripada mental. Ditambah lagi adanya korupsi di mana-mana.

Mental model dengan Paradigma viral dahulu baru dibenahi. Politik anggarannya tidak pro masyarakat.
Seharusnya, lanjutnya, perspektif keadilan sosial harus ada dalam semua perspektif. Misalnya praktik tidak keberpihakan, masalah bantuan langsung tunai (BLT), program keluarga harapan (PKH) yang yang tidak sesuai sasaran. Banyak praktik intoleran. Mayoritas banyak aksesnya, banyak kesempatannya, minoritas malah sebaliknya.

Jika belajar dari gender analisys pathway, ada indikator yang harus ada untuk merumuskan suatu kebijakan sebuah sistem, yaitu adanya akses, partisipasi, kontrol dan kemanfaatan.

Undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang HAM mencantumkan beberapa kelompok rentan. Peserta diajak untuk melihat di daerah masing-masing berasal untuk melihat kelompok rentan yang ada di desanya, karena penafsiran mengenai kaum rentan ini berbeda-beda. Peraturan Daerah provinsi Jawa Tengah no. 1 tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum. Di sana dijabarkan siapa saja kelompok rentan. Namun yang belum dimasukkan, menurut Maya adalah perempuan kepala keluarga.

“Perempuan kepala keluarga tidak harus menjadi janda terlebih dahulu, ada faktor lain yang menjadikan ia sebagai kepala keluarga,” jelas Maya.
Gus Dur selalu berlandasan Teologis (Surah Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9) dan Konstitusi (UUD 45 dan Pancasila) sebagai dasar pemikirannya. Kemudian setidaknya, menurut Maya ada empat poin yang harus kita jalankan : Pertama, pemberdayaan kaum lemah untuk memperbaiki nasib mereka. Kedua, perjuangan struktural. Hal ini bisa dilakukan dengan masuk ke dalam ranah kebijakan, salah satunya lewat jalur politik. Ketiga, berorientasi menghilangkan kesenjangan dan disparitas.
Gus dur tidak selalu membela yang benar, akan tetapi membela kaum yang lemah, misalnya waktu penolakan Inul Daratista dan JAI (Jamaah Ahmadiyah Indonesia). Keempat, berorientasi membangun sistem / environment dengan prinsip keadilan. Dari semua itu, tujuannya adalah untuk Kesejahteraan yang Rahmatan Lil’alamin.
Adanya inpres (intruksi presiden) no 9 tahun 2000, menurut perempuan yang saat ini masih menjabat sebagai dekan Fakultas Syariah dan Hukum Unisnu Jepara ini banyak menginspirasi dirinya, yaitu tentang Pengarusutamaan Gender. Waktu itu perubahan nama kementerian dari Kementerian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Perempuan sebagai subjek kebijakan. Hal ini agar kebijakan dari mulai formulasi, implementasi, sampai evaluasi yang tidak bias gender. (RA).

Baca Juga  Soal Intoleran; Lebih Baik Mencegah Daripada Mengobati
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini