Pesan Simbolis, Mengingat Tragedi Tragis

[Semarang -elsaonline.com] Seberang Gedung Boen Hian Tong atau Rasa Darma di Kawasan Pecinan Semarang, sesak oleh kendaraan roda empat maupun dua. Padahal, biasanya, di Hari Minggu, tak banyak kendaraan lalu lalang karena hampir semua toko tutup. Kendaraan yang terparkir dekat Boen Hian Tong adalah milik dari mereka yang sedang menghadiri kegiatan di tempat tersebut.

Didalam ruangan yang sedang direnovasi, kursi nyaris penuh terisi. Kebanyakan generasi diatas usia 40 tahun. Tak sedikit juga anak-anak muda yang turut terlibat disana. Seorang anak muda sedang membacakan konferensi pers. Awak media dan beberapa peserta mengambil gambar dan merekamnya. Di depannya, ada meja yang diatasnya pelbagai “makanan pahit” dihidangkan.

Tahun 2023, Pengurus Boen Hian Tong kembali menyelenggarakan Refleksi atas Tragedi Kekerasan terhadap komunitas Tionghoa (khususnya perempuan) pada kerusuhan 13-15 Mei 1998. Sejak 2018, kegiatan ini rutin dilaksanakan tiap tahuh. Kala pandemi (2020 dan 2021), peringatan tetap dilakukan secara online dan kembali berlangsung secara normal sejak 2022.

Harjanto Halim, Ketua Pengurus Boen Hian Tong, sejatinya pernah melakukan peringatan atas kekerasan Mei 1998, satu dasawarsa setelah kejadian, 2008. Kegiatannya tergolong wah. Ada pementasan ketoprak dan kegiatan lainnya, yang ketika itu, berbarengan dengan peringatan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional.

Namun, ia merasa bahwa peringatan itu tak cukup memberi bekas. Setelah kegiatan dilaksanakan, selesai sudah. Ingatan tentang kekerasan juga turut menguap berbarengan dengan rampungnya kegiatan. Harjanto Halim kemudian menelurkan ide peringatan akan tragedi ini dalam bentuk lain setahun setelahnya, 2018.

Pada 13 Mei 2018 ia bersama pengurus Boen Hian Tong mendesain peringatan tragedi Mei dengan lebih sederhana, tapi penuh dengan pesan yang ada dibalik simbol-simbol. Dipilihlah pare dan bunga kecombrang. Pare, yang rasanya pahit, menjadi simbol kegetiran dan kepahitan yang dialami oleh perempuan Tionghoa yang direpresentasikan oleh bunga kecombrang. Keduanya tak hanya dihadirkan, tetapi dimakan oleh peserta yang turut dalam kegiatan itu. Kepahitan itu harus ditelah, bukan untuk dilupakan. Memakan pare adalah sebentuk gerakan melawan lupa, mengabadikan ingatan sekaligus melawan ketidakadilan.

Baca Juga  Problem Pemakaman Penghayat di Banyumas

Di altar tempat sembahyang yang disediakan di sebuah ruang Gedung Boen Hian Tong, ada Sinci atau Papan Arwah bertuliskan nama leluhur yang sudah meninggal. Bagi orang Tionghoa, Sinci merupakan bentuk penghormatan tertinggi. Ada dua orang yang namanya ada dalam Sini dan mungkin dikenal publik masa kini. Keduanya adalah KH. Abdurrahman Wahid (biasa dikenal Gus Dur, Presiden Keempat Republik Indonesia) dan Ita Martadinata Haryono (aktivis perempuan pembela Hak Asasi Manusia yang dibunuh dalam rangkaian tragedi Mei 1998).

Sinci Ita Martadinata baru saja diletakkan di altar pada 13 Mei 2021, ketika kegiatan hanya dihadiri langsung beberapa orang saja karena masih pandemi, sementara yang lain mengikutinya secara online. Pada setiap kegiatan di Boen Hian Tong untuk memperingati kekerasan Mei 1998, salah satu yang menjadi rangkaian kegiatan adalah peletakan bunga pada Sinci Ita. Jika kegiatan Haul Gus Dur, maka bunga biasa diletakan di papan arwah Gus Dur.

***

Pare dan Kecombrang adalah simbolisasi, pesannya bukan pada rupa atau wujudnya, tetapi pada apa yang ada di balik bentuknya. Pada satu kesempatan, pun bagi kelompok tertentu, pesan simbolik kerap mendarat lebih lama, mengendap dalam memori untuk waktu yang tak berjangka. [Tedi Kholiludin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini