[Semarang -elsaonline.com] Apakah pilihan politik seseorang yang didasarkan atas pertimbangan iman atau agama bisa masuk dalam kategori politik identitas? Bagaimana politik identitas itu dipahami dalam kaitannya dengan preferensi politik yang merupakan hak bagi semua warga negara?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang mengemuka dalam diskusi bertajuk “Yang Penting Seiman: Antara Politik Identitas dan Preferensi Politik,” yang dilaksanakan pada 6 Juni 2023 di Kantor Yayasan Pemberdayaan Komunitas ELSA, Kota Semarang. Diskusi Bulanan tersebut menghadirkan Dr. Ceprudin sebagai pemantik.
Cecep, staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang mengingatkan kepada para pengawas pemilihan umum (Pemilu) di semua level, untuk tidak terlalu paranoid dengan model kampanye yang membawa-bawa embel-embel identitas, termasuk identitas agama.
“Secara harfiah, dalam Undang-undang Pemilu, orang dapat dikategorikan melakukan pidana politik identitas, jika dalam kampanyenya ada unsur hasutan, adu domba atau hinaan. Maka, jika hanya sebatas bawa embel-embel identitas, itu sebenarnya hanya preferensi politik supaya masyarakat tertarik untuk memilihnya,” ulas Cecep membuka diskusinya.
Sekalipun demikian, lanjut Cecep, bagi para peserta atau juru kampanye, mesti harus hati-hati ketika hendak berkampanye dengan membawa unsur identitas. “Karena praktik hukum kita di pengadilan, kadang bisa juga lebih maju atau ada tafsiran berbeda dari teks undang-undanganya,” lanjut peneliti di ELSA itu.
Yang kadang terjadi adalah tekanan kepada pihak pengadilan ketika ada dugaan telah terjadi pengadilan yang kerap mengubah keputusan. “Bisa saja, seseorang yang sedang berkampanye dengan embel-embel identitas, diputus bersalah telah melakukan politik identitas, meski secara tektual tidak ada uncur hasutan, hinaan, dan adu domba. Karena kadang hakim di pengadilan itu memutus apa yang dikehendaki gelombang masa. Karena itu bagi para politisi atau juru kampanye harus sangat hati-hati berkampanye,” terang Cecep.
Salah satu peserta diskusi, Wempy Anggianto Francis menghangatkan obrolan dengan memperkaya perspektif mengenai tujuan serta warna dasar dari politik identitas. “Politik identitas merupakan bentuk kamuflase kepentingan politik yang dibungkus dengan identitas SARA, demi tercapainya kepentingan sesaat dari suatu kelompok atau individu,” terang Wempy Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Vox Point Indonesia Kota Semarang. Vox Point merupakan organisasi masyarakat Katolik yang salah satu visinya meningkatkan partisipasi umat Katolik dalam bidang sosial, politik dan lainnya.
Dalam uraiannya, Wempy menganalogikan kampanye laiknya seperti yang terjadi dalam dunia bisnis. “Dalam dunia bisnis dan pemasaran, dikenal istilah branding, yang berfungsi mempromosikan produknya kepada calon pelanggan agar tertarik membelinya,” kata Wempy.
Dengan analogi branding tersebut, lanjut Wempy, adalah hal yang wajar bila seseorang atau sekelompok orang mem-branding dirinya dengan identitas suku atau ras atau keagamaannya. Disaat yang sama, pemimpin dan umat beragama, bisa saja mengarahkan pilihan nya kepada saudara yang seiman karena berlandaskan kepentingan, kenyamanan dan keamanan yang sama. Dan hal tersebut adalah hal yang wajar.
Fenomena politik menjadi tidak wajar ketika, sekelompok orang atau individu tersebut menggunakan isu politik identitas sebagai bahan untuk menyerang kelompok lain yang berbeda kepentingan dan menimbulkan ekses terpecahnya persatuan bangsa.
Diatas semuanya, Wempy menambahkan, apapun jenis promosi atau kampanye dari partai atau calon anggota legislative atau calon presiden yang menggunakan politik identitas sebagai “branding diri” atau “branding partai”, harus tetap menjaga kewarasan diri, kesehatan hati nurani dan pikiran, agar kesatuan bangsa dan negara bisa tetap terjaga.
Dalam tilikan yang lain, gejala kebangkitan politik identitas, pada gilirannya bukan sekadar fenomena di negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju seperti Jepang. Pembunuhan eks perdana menteri Jepang, Shinzo Abe oleh seorang anggota Gereja Unifikasi pada 8 Juli 2022 mengungkap bahwa banyak politisi konservatif Jepang yang terkait dengan gereja tersebut.
Iwan Madari, pengamat sosial dan budaya Jepang yang juga hadir pada diskusi tersebut mengatakan, Gereja Unifikasi yang didirikan di Korea Selatan paska perang korea oleh Sun Myung Moon menyatakan dirinya sebagai mesiah dan reinkarnasi Kristus. Gereja ini memperjuangkan anti komunis dan penyatuan kedua Korea.
Hubungan antara gereja dan partai yang memerintah Jepang saat ini yaitu LDP, dapat ditelusuri jejaknya pada kakek Shinzo Abe, Nobusuke Kishi, yang menjabat sebagai perdana menteri dan berbagi kekhawatiran dengan Amerika Serikat atas penyebaran komunisme di Jepang pada 1960-an yang membuat aktivis serikat buruh semakin kuat.
Kishi, yang ditangkap sebagai penjahat perang tetapi tidak pernah dituntut, dikenal karena pandangan politik sayap kanannya, dan sikap anti-komunis Gereja Unifikasi cocok dengan pandangannya tentang kepentingan nasional Jepang. Hal inilah yang membuat Kishi membawa gereja tersebut ke Jepang, setelah berdiri di Jepang, gereja ini menyelinap dalam dunia politik Jepang sebagai organisasi anti komunis tapi sebenarnya adalah gerakan keagamaan baru yang sedang mencari pengikut di Jepang.
Selain itu, kata Iwan, banyak politisi Jepang yang terkait dengan gerakan keagamaan atau organisasi keagamaan lain, contohnya adalah Hakubun Shimamura. Salah satu anggota partai LDP tak hanya terkait dengan gereja unifikasi tapi juga organisasi keagamaan lain yaitu Soka Gakkai, lewat partainya Komeito. Soka Gakkai ini adalah organisasi keagamaan terbesar di Jepang yang berafiliasi dengan aliran Buddha Nichiren. Dia menggunakan organisasi keagamaan untuk mendulang suara dan mendanai kampanye politiknya. Uniknya semua organisasi agama ini tidak pernah komplain jika politisi yang didukungnya juga mempunyai hubungan dengan organisasi keagamaan lain, karena mereka juga menggunakan politisi sebagai alat promosi organisasi mereka.
Singkatnya, terang Iwan, banyak politisi konservatif di Jepang pada gilirannya mempunyai koneksi dengan organisasi keagamaan yang mempunyai ideologi yang berlawanan demi mendulang suara terbanyak dan memperoleh popularitas. [Tedi Kholiludin]