
[Bogor –elsaonline.com] Awalnya adalah stigma terhadap kelompok keyakinan tertentu. Lalu peraturan muncul seperti mengukuhkan adanya stigma dan diskriminasi yang dimunculkan oleh kelompok masyarakat.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Engkus Ruswana, Presidium Badan Koordinasi Organisasi Kepercayaan (BKOK). Engkus menyuarakan hal itu dalam pertemuan solidaritas korban kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Bogor, Selasa (25/3).
Engkus yang juga merupakan penghayat Budi Daya menuturkan bahwa stigma itu disosialisasikan melalui banyak instrumen. “Akhir-akhir ini kita lihat bahwa acara-acara di televisi begitu menstigma kelompok penghayat,” kata Engkus. Mereka yang melakukan kejahatan misalnya diidentikan dengan baju hitam, membawa keris dan sebagainya.
Ceramah-ceramah yang berbau ujaran kebencian juga semakin menambah kuat diskriminasi tersebut.
Engkus menambahkan jika kelompok intoleran memang sudah ada sejak dulu. “Jelang era kemerdekaan, mereka yang berpikir untuk kelompoknya saja sudah ada,” terang Engkus.
Kondisi demikian semakin tidak menguntungkan karena tidak ada kekuatan penyeimbang, terutama dari itu sendiri. Makanya penting bagi korban untuk memperkuat masing-masing komunitas dan saling berbagi informasi dan strategi dengan komunitas lainnya. [elsa-ol/T-Kh-@tedikholiludin]
[…] 0 […]
[…] 0 […]