Gus Mus: Pancasila pun Dikorupsi

(Semarang, elsaonline.com) Menandai peringatan ulang tahunnya yang ke 56, Yayasan Buddhagaya Watugong Semarang menyelenggarakan Dialog Merajut Nilai Kebangsaan, minggu (9/10). Acara yang dihelat di Vihara Buddhagaya Jl. Perintis Kemerdekaan Semarang itu juga dilaksanakan untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda.

Hadir sebagai pembicara dalam acara itu, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), Lan Fang dan Bhikku Dhammasubho Mahathera dan dipandu oleh Prof. Dr. Ir. Budi Widianarko, Msc. Acara ini dihadiri lebih dari 300 undangan yang datang dari kelompok lintas agama, mahasiswa, aktivis dan lainnya.

KH. Mustofa Bisri (kedua dari kiri)

Gus Mus mengatakan bahwa bangsa kita ini bagaikan gado-gado, terdiri dari berbagai macam unsur, agama dan etnik. “Tetapi, gado-gado ini mengalami kesakitan yang luar biasa sekarang” terangnya. Indonesia selalu menjadi bangsa terjajah, mulai Belanda, Jepang hingga sekarang kita dijajah oleh bangsa sendiri. Karena itu Gus Mus mengatakan, “di negara kita, hanya dikenal dua makhluk: penjajah dan jajahan. Penjajah itu menangan dan yang lain, yang mayoritas ini jajahan”.

Bangsa Indonesia, lanjut Gus Mus pernah memiliki panglima politik lalu diganti oleh panglima ekonomi. Pada zaman Soekarno, politik menjadi panglimanya sementara ekonomi adalah panglima pada masa Soeharto. “Maksud dari Pa Harto itu baik. Kalau ekonomi seseorang sudah bagus, ke Wihara ya anteng ke Mesjid juga anteng” sambung pimpinan Pesantren Raudlatul Thalibien, Rembang tersebut.

Dan keputusan Soeharto untuk meniru negara yang maju dalam ekonomi yakni Barat juga sudah betul. “Sayangnya, Pak Harto itu  seperti umumnya orang Indonesia, kalau niru itu gak nyawang awake dewek. Pak Harto lupa Pancasilanya” papar Gus Mus, yang juga dikenal sebagai budayawan itu. Akibatnya, meski kita ekonomi pancasila tetapi sesungguhnya yang dipraktekan adalah ekonomi kapitalis yang berakibat pada sikap hidup yang materialistis. Pola inilah yang sekarang merasuki kehidupan masyarakat Indonesia.

Baca Juga  Kisah Malang Sub-Etnis Kalang [Bagian 1]

Metode Nabi

Mestinya, lanjut Gus Mus, para pemimpin negara maupun agama harus meniru cara Nabi Muhammad Nabi dalam memimpin masyarakat. “Kanjeng Nabi itu, kalau memimpin terlebih dahulu memberi teladan. Mengajarkan memuliakan istri, ia mencontohkannya, mengajarkan memuliakan tetangga, juga dicontohkan dulu” tukas Gus Mus. “Tapi ini enggak, kalau ngajak rukun, dia sendiri provokator, suka berkelahi. Kalau ngajak ke barat terus dia thenguk-thenguk (diam saja), itu mending. Ini ngajak ke barat, eh dia sendiri malah ke timur” sindir Gus Mus.

Dengan nada sedikit bercanda, Gus Mus melanjutkan, justru yang mengikuti metode Nabi dalam berdakwah adalah Soeharto. “Dia ngajak orang untuk kaya, terus dia mencontohkannya, bikin kaya diri sendiri dulu”, tutur Gus Mus, yang disambut tawa hadirin.

Banyak yang mengatakan bahwa pada masa orde baru hidup terasa enak. “Ya enak, karena Soehartonya cuma satu, sementara sekarang Soehartonya banyak” tegas Gus Mus. Dan salah satu didikan dari Soeharto adalah penyeragaman yang mengakibatkan orang jatuh pada pragmatisme. “Akibatnya kita enggak bsa berbeda, padahal perbedaan itu fitri. Tuhan tidak menghendaki keseragaman” lanjut Gus Mus.

Lirik lagu Indonesia Raya dengan sangat baik menunjukan filosofi bangsa Indonesia untuk pertama-tama membangun mental. Ini tercermin dalam lirik “… bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. “Sementara sekarang yang dibangun itu badan terus sampe kemekaran” kritik Gus Mus.

Korupsi Pancasila

Budaya korupsi, kata Gus Mus tak hanya ada pada persoalan ekonomi saja, tetapi juga ada korupsi sejarah. “Kemerdekaan yang kita raih itu adalah perjuangan semua golongan, etnis dan agama. Kok tiba-tiba ada ada yang mengatakan kalau kemerdekaan ini diklaim sebagai perjuangan kelompok tertentu. Ini adalah korupsi sejarah” tandas Gus Mus.

Baca Juga  Mendesak, Pengarusutamaan Islam "Wasatiyah" bagi Mahasiswa

”Tak hanya sejarah yang dikorupsi, Pancasila pun dikorupsi” terang Gus Mus. Pancasila tidak pernah diamalkan dalam kehidupan. Pancasila kemudian dimonopoli oleh sekelompok orang dan dijadikan sebagai alat politik. Pancasila adalah falsafah kehidupan yang pada zaman Soeharto tidak dilihat saat membangun ekonomi.

Saat membangun ekonomi, materi menjadi sangat penting. Materi dijadikan sebagai ukuran kesejahteraan. Kekayaan lahir menjadi idaman, sementara kekayaan batin terlupakan. Kepentingan duniawi akhirnya mengalahkan Tuhan, melecehkan kemanusiaan dan mempersetankan persatuan dan persaudaraan.

Kata Gus Mus, mereka yang sudah menuhankan materi sudah tidak lagi peduli apakah sila pertama itu Ketuhanan atau Kesetanan yang Mahaesa; apakah sila kedua itu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab atau Kebinatangan yang Degil dan Biadab; apakah sila ketiga itu Persatuan Indonesia atau Perseteruan Indonesia; apakah sila keempat itu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan atau Kekuasaan yang Dipimpin oleh Nikmat Kepentingan dalam Perkerabatan/Perkawanan; apakah sila kelima itu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia atau Kelaliman Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. (elsa-ol)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini