[Banjarnegara –elsaonline.com] Udaranya sejuk nan asri. Kampungnya damai dikelilingi bebukitan serta rerimbunan pohon rindang. Suasana desa itu tambah indah dengan hamparan sawah subur dengan lekukan pematangnya. Tanah surga itu berada di Dusun Krucil, Desa Bawang, Kabupaten Banjarnegara.
Kampung itulah yang menjadi ’handaitaulan’ komunitas Jamaah Ahmadiyah. Tak jauh dari Dusun Krucil terdapat waduk yang panjangnya mencapai 6,5 KM dan luas 1.250 Ha. Waduk Mrica namanya. Sekarang dikenal sebagai Bendungan Jendral Soedirman. Waduk itu dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang menyuplai listrik Jawa dan Bali.
Perkampungan Krucil memiliki penduduk kurang lebih 400 jiwa. Dari total jumlah itu, 90 persen penduduknya merupakan pengikut Ahmadiyah. Di desa itulah puluhan generasi muda dipupuk nilai-nilai keberagaman. Di desa yang tentram itulah generasi muda itu saling memahami perbedaan agama dan kepercayaan.
“Live in berkesempatan untuk mengenalkan lebih dekat dengan Ahmadiyah secara langsung, agar stigma yang selama ini dilekatkan pada Ahmadiyah dapat hilang”, tutur Muhtamin Tabligh Majelis Khudamul Ahmadiyah Indonesia (MKAI) Pusat Aziz, dalam pembukaan acara, (29/9/15).
Kegiatan ini tak lain merupakan respon atas beberapa kejadian yang menimpa penganut Ahmadiyah. Padahal Ahmadiyah telah hadir di Indonesia sejak tahun 1925, jauh sebelum Indonesia merdeka. Keberadaannya dahulu tidak menimbulkan perselisihan. Terbukti dengan dikeluarkannya legalisasi organisasi dari Badan Kehakiman RI pada tahun 1953.
Pada awal pembukaan, tampak suasana masih begitu menegangkan. Isu yang cukup sensitif mengenai konflik agama dan kepercayaan tampak masih membayangi pikiran masing-masing peserta. Terlebih, baru-baru ini Ahmadiyah sering mengalami penolakan dari beberapa kelompok intoleran.
Agen Perdamaian
Suasana mulai mencair tatkala para peserta ditugaskan untuk berdiskusi kelompok. Selepas pembukaan, peserta ditugaskan untuk berdiskusi tematik yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Peserta yang terdiri dari berbagai perwakilan agama membuat diskusi menjadi lebih menarik.
“Ada banyak hal yang saya dapatkan yang langsung menjungkirbalikkan pemahaman saya tentang Jamaah Ahmadiyah”, ujar Korsinus Ginto perwakilan dari Kristen dengan antusias.
Masing-masing peserta mendapat pengalaman menarik dengan adanya kegiatan lintas agama dan kepercayaan ini. Warga Ahmadiyah yang ada di Dusun Krucil dirasa sangat ramah dan terbuka. ”Bagi saya orang-orang seperti ini tidak layak untuk diperlakukan tidak adil sebagaimana terjadi pada Jamaah Ahmadiyah di tempat lain,” tambah Korsi, panggilan akrabnya.
Waktu terus bergulir dan kegiatan hampir selesai. Pada kesempatan terakhir masing-masing kelompok diberikan kesempatan untuk presentasi. Mereka mempresentasikan mengenai Ahmadiyah baik dari sisi struktur organisasi, sistem kaderisasi, aqidah, keuangan dan sosial kemasyarakatan.
”Dalam sesi ini bertujuan untuk mengenalkan Ahmadiyah secara lengkap, agar berita-berita negatif yang beredar diluar sana dapat terjawab. Banyak orang yang berprasangka buruk terhadap Ahmadiyah akibat informasi yang salah dari media sosial yang tidak jelas kebenarannya”, terang salah seorang mentor, Dedeng.
Dalam penutupan Aziz berpesan agar peserta Live in dapat menjadi agent of peace, agen untuk menyebarkan informasi-informasi tentang Ahmadiyah yang sebenarnya, setidaknya dalam komunitasnya masing-masing. Sehingga menghilangkan prasangka-prasangka dari masyarakat terhadap Jamaah Ahmadiyah.
“Harapan saya adalah biarlah suasana perdamaian, persahabatan dan kekeluargaan yang kita alami selama dua hari tidak hanya berakhir disini. Tetapi masing-masing kita mampu untuk membawa dan membagi serta menghidupi suasana tersebut bagi lingkungan kehidupan masing-masing. Love for All Hatred for None”, pungkas Korsinus seusai acara. [elsa-ol/Zizi-@zizi-tamrin/001]