“Tidak sebatas pada undang-undang dasar, negara juga telah membuat UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia,” Kepala Sub Bidang Pemajuan HAM, Kanwil Kemenkum HAM Jawa Tengah, Siti Yulianingsih pada “sarasehan memperkuat jaringan aktor pembela HAM kebebasan beragama/berkeyakinan, Kamis (10/9/15).
Alumnus program magister hukum Undip ini menegaskan, bahwa semua pelanggaran hukum, adalah pelanggaran HAM. Hukum merupakan penjaga hak asasi setiap warga negara.
“Mencabut, mengurangi, membatasi, menghilangkan hak orang, adalah bentuk pelanggaran. Umpanya orang mencuri, itu merupakan pelanggaran hukum. Dan pelakunya sedang merampas hak orang lain, artinya dia sedang melanggar,” katanya.
Narasumber dari The Asia Foundation (TAF), Ahmad Jamid Hamidi mengatakan sejatinya siapa pembela HAM. Dalam perundang-undangan di Indonesia belum ada yang mengatur tentang pembela HAM.
“Selama ini human right defender hanya mengacu pada deklarasi universal. Dalam deklarasi itu dikatakan bahwa pembela HAM salah satu cirinya melakukan aktivitas HAM tanpa menggunakan kekerasan. Sayangnya pembela HAM belum diatur dalam perundang-undangan nasional,” katanya.
Ada satu prinsip yang harus dipegang dalam melakukan pembelaan ham, yakni tidak melakukan kekerasan. Umpanya melakukan pembelaan terhadap warga korban pembangunan pabrik semen di Pati, tanpa melakukan kekerasan, orang itulah disebut pembela HAM.
“Baik amnesty internasional, deklarasi HAM PBB mempunyai persyaratan yang sama. Yakni tanpa melakukan tanpa kekerasan. Pembela HAM itu bukan hanya pembela orang lain, tapi juga bisa membela HAM sendiri. Harus diingat, pembela HAM itu bukan profesi,tapi status sosial,” paparnya.
Label pembela HAM tidak bisa diberikan kepada seseorang karena pangkat dan jabatannya. Sayanya perbuatan yang mulia itu tidak dilindungi oleh perundang-undangan di Indonesia. Padahal, pembela HAM adalah mitra pemerintah.
“Negara ini tugas terpentingnya adalah menjaga ketertiban dan keamanan. Nah, ini merupakan salah satu tugas kepolisian. Nah, polisi jangan alergi HAM, membela HAM itu tugasnya kepolisian. Kalau polisi apriori terhadap HAM, berarti apriori terhadap tugasnya sendiri,” kata alumnus magister ilmu kepolisian ini.
Itu merupakan teori yang seharusnya dibangun oleh pemerintah. Namun ternyata di lapangan seakan berbalik dengan yang seharusnya. Pemerintah justru menganggap pebela HAM sebagai kerusakan.
“Nah, kalau pemerintah memandang pembela HAM itu provokator, itu celaka. Kalau pembela HAM itu mengkritik artinya sedang mengoreksi. Sayangnya pemerintah sebih suka dipuji daripada dikritik. Padahal pujian itu seperti minyak wangi. Aromanya enak, tapi kalau ditelan bikin penyakit,” tandasnya. [elsa-ol/@ceprudin-Ceprudin/001]