Petilasan Ki Ageng Pandanaran Kerap Diziarahi

PENJAGA MALAM: Mardi penjaga malam SMP 38 berdiri di dekat Petilasan Ki Ageng Pandanaran Jalan Bubabakan nomor 29 Semarang.
PENJAGA MALAM: Mardi penjaga malam SMP 38 berdiri di dekat Petilasan Ki Ageng Pandanaran Jalan Bubakan nomor 29 Semarang.

[Semarang –elsaonline.com] Bangunan berbentuk persegi di bawah tangga Sekolah Menengah Pertama (SMP) 38 Semarang ternyata mempunyai sejarah panjang. Bangunan sempit berukuran sekitar empat meter persegi itu, tak lain adalah Petilasan Bupati Semarang pertama, Ki Ageng Pandanaran.

SMP 38 sendiri berada di Jalan Bubakan nomor 29 Semarang, yang masih masuk dalam kawasan Pecinan (pemukiman keturunan China-red). Sekolahan ”putih biru” ini diapit oleh bangunan-bangunan besar yang digunakan untuk perdagangan seperti pertokoan dan pergudagangan.

Petilasan Ki Ageng Pandanaran nyaris tak terlihat sama sekali dari Jalan Bubakan. Selain tempatnya yang berada di pojokan dan bawah tangga gedung, sepanjang jalan juga tak dijumpai petunjuk arah.

Memang, dibanding dengan makamnya yang berada di Jalan Mugas Dalam II, Petilasan Ki Ageng Pandanaran tak begitu dikenal masyarakat. Berawal dari penuturan seorang keturunan Pakistan, Yunan Fahlevi di Masjid Pekojan, elsaonline menyusuri daerah Bubakan untuk mencari petilasan itu.

Ia menuturkan, Ki Ageng Pandanaran selain pernah mengajar ngaji di Masjid Pekojan, juga pernah tinggal di gubug kecil yang sekarang masuk wilayah Bubakan.

”Menurut cerita orang tua, Bupati pertama Semarang, Ki Ageng Pandanaran pernah mengajar ngaji kepada masyarakat sekitar di Masjid ini (Pekojan-red). Kemudian beliau tinggal di daerah Bubakan. Petilasannya itu tepatnya sekarang ada di dalam SMP 38 Semarang,” ujarnya.

Antara Jalan Bubakan, tempat petilasan Ki Ageng Pandanaran dan Jalan Petolongan yang merupakan tempat Masjid Pekojan jaraknya tak terlalu jauh. Ketika ditempuh dengan jalan kaki paling lama memakan waktu 20 menit. Kedua tempat ini, sama-sama menjadi pusat perdagangan.

Seperti diketahui, di beberapa literatur disebutkan bahwa sekitar tahun 1398 Saka atau tahun 1476 Masehi, Ki Ageng Pandanaran membuka tempat mengaji di Bukit Bergota. Dengan membangun mushola kecil di bukit yang dulu disebut dengan Pulau Tirang itu, Ki Ageng mengajarkan Islam kepada masyarakat sekitar.

Baca Juga  Karakater Masyarakat Muslim Semarang

Kota Semarang waktu itu merupakan salah satu pusat penyiaran agama Islam dan menjadi bagian dari Kerajaan Demak. Kala itu, Bergota merupakan bukit yang dikelilingi pantai (pelabuhan). Karena terjadi sedimentasi yang sangat parah, daerah yang semula pantai kemudian menjadi daratan.

Begitu pula dengan daerah Bubakan. Dahulu, konon daerah ini merupakan pelabuhan, sebelum mengalami pendangkalan. Begitu menjadi daratan, Ki Ageng Pandanaran kemudian membuka tanah tak bertuan ini yang sekarang menjadi daerah Bubakan.

Semedi

Penjaga malam sekaligus pemilik kantin sekolah yang menempel dengan petilasan Mardi (54), menyampaikan tak banyak yang mengetahui keberadaan petilasan ini. Namun demikian, setiap malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon banyak yang warga yang datang untuk bersemedi dan berziarah.

”Masih ada, (yang berziarah dan semedi-red). Namun tak sebanyak ke makamnya yang ada di Bergota. Kalau disini hanya orang-orang yang tahu saja. Paling sering malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Tapi petilasan hanya buka sampai jam 11 malam saja,” tuturnya.

Mardi bersama istrinya, memiliki kantin sekolah yang sangat sederhana. Lokasinya menjadi satu dengan petilasan dengan keadaan yang sangat gelap. Untuk menerangi kantinnya, ia sehari-hari menggunakan lampu listrik. Sementara di dalam petilasan, tak ada lampu penerangan sehingga keadaan gelap gulitas.

Dengan suara yang tak begitu jelas, Mardi menerangkan apa yang ia ingat kondisi terdahulu petilasan itu. Ia menceritakan, sebelum dipugar sekitar tahun 1992, petilasan masih berbentuk makam yang ada di dalam pekarangan sekolah. Setelah dilakukan pembangunan, petilasan dibuat bangunan tembok.

”Ketika saya kecil petilasan ini sudah ada. Bahkan ketika masa orng tua saya, juga sudah ada. Saya masih ingat ketika dulu kecil, petilasan ini sebelum dipugar masih berbentuk makam dengan gundukan tanah. Di dekat petilasan, terdapat pohon mangga dan pohon sawo yang ketika dipugas ikut ditebang,” ungkapnya. [elsa-ol/Cep-@Ceprudin]

Baca Juga  Buka Puasa Bersama Jamaah Syiah
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini