Penghayat, Benteng Terakhir Indonesia

Dewi Kanti
Dewi Kanti

[Semarang –elsaonline.com] Para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME merasa menjadi benteng terakhir keberadaan Indonesia. Mereka menjaga dengan memergunakan simbol-simbol dari warisan leluhur Nusantara.

“Kami menjadi benteng terakhir mempertahankan karakteristik bangsa. Kami masih menggunakan nama-nama karakteristik bangsa. Ketika nama-nama itu hilang, siapa yang akan menjamin,” kata Aktivis Penghayat Sunda Wiwitan Jawa Barat, Dewi Kanti di Semarang, Rabu (16/4).

Menurut Dewi, peran yang dilakukan para Penghayat kepada YME adalah menjaga keutuhan bangsa dengan menggunakan nama-nama leluhur. Baginya, kemerdekaan bangsa Indonesia yang dipromosikan para proklamator masih belum tuntas.

“Proklamator bangsa hanya menghantarkan pada pintu gerbang. Makanya, kami mencoba mewujudkan dalam penguatan jiwa untuk memperkuat identitas bangsa,” bebernya.

Meski begitu, Dia masih menyoroti ketimpangan kebijakan negara pada kehidupan para penghayat. Kritiknya, bahwa para Penghayat masih bisa hidup tanpa adanya peran pemerintah. Karena mereka hidup berdasar warisan leluhur Nusantara semenjak Indonesia belum lahir.

Untuk itu, Dia terus mengkritisi pada proses pembentukan negara yang dinilai terbentuk atas kesepakatan tertentu. Kesepakatan kerap menihilkan peran penghayat yang sebetulnya ada dalam khazanah bangsa.

Meski merasa banyak terdiskriminasi, ajaran leluhur Sunda Wiwitan tak pernah bertindak revolusioner menentang negara. Perlawanan akan diskriminasi yang dilakukan pemerintah disikapi dengan bijak dan santun.

“Perlawanan kami tidak revolusioner. Orang tua kami dari Penghayat Kepercayaan tidak pernah mengajarkan dengan kekerasan. Semua harus lewat proses,” timpalnya.

Di Semarang, Dewi Kanti bersama aktivis penghayat Perempuan lainnya, Hendira Ayudia Sorentia dan Peneliti dari Lembaga Studi Sosial dan Agama Siti Rofiah membincang pola diskriminasi negara kepada para Penghayat. Mereka kompak menyebut Negara telah bertindak melakukan diskriminasi ganda. (elsa-ol/nurdin-@NazarNurdin2)

Baca Juga  Laporan ELSA 2021, Praktik Intoleransi Meningkat di Jawa Tengah
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini