
[Semarang –elsaonline.com] Meski pada pemilihan umum 1955 (partai) Nahdlatul Ulama meraih 18 persen, tapi sebenarnya mereka tak pernah satu suara. Demikian diungkapkan Peneliti NU asal Perancis, Andréé Feillard, Rabu (16/4). Peneliti yang telah memenulis tentang NU sejak 1987 itu mengatakan hal tersebut dalam diskusi yang digelar sekaligus berbarengan dengan Lailatul Ijtima di Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah.
“Jadi kalau sekarang NU itu tidak satu suara dalam soal politik, maka sebenarnya bukan fenomena baru,” terang Andréé. Yang membedakan mungkin ketika zaman KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur, red) memimpin NU. Menurut Andréé saat itu kekutan NU sangat solid. “Bisa jadi karena kharisma Gus Dur yang sangat kuat sehingga NU relatif satu komando,” sambungnya.
Dikatakan Andréé, memang tak mudah untuk membangun visi bersama dari warga NU dalam konteks politik.
“Rata-rata warga NU bersolo karir dalam masalah politik,” kata Ulil Abshar-Abdalla yang juga hadir sebagai pembicara pada diskusi tersebut. Menurutnya warga NU yang ada di dunia politik tidak didasarkan atas rekomendasi dari Pengurus Besar (PB) NU atau PWNU. “Ada keuntungan dan kerugiannya tentunya,” jelas Ulil. Kerugiannya, orang-orang NU memang ada dalam dunia politik, tetapi visi politiknya tidak ada. Sementara keuntungannya, posisi NU secara struktural aman.
“Mengutip Kyai Ahmad Shiddiq. NU itu tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana. Meski sekarang agak sedikit ke mana,” canda mantan Direktur Pengurus Pusat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU itu. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]