Perayaan Imlek, Perayakan Syukur Petani

Harjanto Halim[Semarang –elsaonline.com] Tahun Baru Imlek dan orang Tionghoa adalah dua hal yang sangat erat kaitannya. Bahkan, perayaan Imlek sudah menjadi tradisi mendarah daging bagi orang Tionghoa sekalipun mereka tersebar di seantero dunia jauh dari tanah leluhurnya di Cina daratan sana. Selain itu, ada beberapa tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh kalangan etnis Tionghoa dalam merayakan Imlek. Di antaranya, hidangan Imlek, pakaian baru dan rapi, membakar petasan, saling mengunjungi dan memberi hormat serta tidak ketinggalan mengenai angpao.

Aji ‘Chen’ Bromokusumo, salah satu pengurus Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (ASPERTINA), menyebutkan bahwa istilah ‘Tahun Baru Imlek’ hanya dikenal di Indonesia. Menurutnya, kata Imlek adalah bunyi dialek Hokkian yang berasal dari kata yin li (penanggalan bulan) alias lunar calendar. “Penanggalan Tiongkok berdasarkan peredaran bulan di Tata Surya sehingga disebut dengan Yin Li. Sementara penanggalan sekarang disebut yang li. Dalam bahasa Mandarin artinya penanggalan matahari,” terang penghobi memasak dan fotografi, seperti dikutip dalam buku “Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara’ (2013).

Pria yang terlahir di tengah keluarga peranakan Tionghoa Semarang ini juga menyatakan, Imlek dikenal pula dengan nong li (penanggalan petani). Hal ini, kata dia, bisa dimaklumi, sebagian besar orang zaman dulu adalah bertani. Aji mejelaskan bahwa para petani tersebut mengandalkan kemampuan mereka membaca alam, pergerakan bintang, rasi bintang, bulan dan benda angkasa yang lain untuk bercocok tanam. “Apalagi di Tiongkok yang empat musim, perhitungan tepat dan presisi harus handal untuk mendapatkan pangan yang cukup,” ujarnya.

Sementara bagi Ketua Kopi Semawis, Harjanto Kusuma Halim, Imlek adalah ungkapan syukur, atas hidup yang kembali ada, bukan sekadar warna merah dan petasan, bukan pamer kekayaan atau pesta memabukkan. Harjanto menyampaikan, Imlek adalah momen damai menguntai harmoni. Amarah diredam, emosi diletakkan. Senyum mengembang, hati memaafkan. “Jadi, Imlek adalah titik waktu, di mana kita layak terpekur, bersyukur dan memaknai, menjaga tradisi dan menghormati rahmat karunia Tuhan yang tiada tara,” terang pemilik PT Ulam Tiba Halim, produsen minuman serbuk Marimas.

Baca Juga  Presiden Harus Prioritaskan HAM

Selain Gong Xi Fa Cai, dalam perayaan Imlek dikenal pula dengan ucapan Sin Chun Kiong Hie. Harjanto menyatakan, ini adalah ucapan syukur dalam dialek Hokkian yang artinya Menyambut datangnya musim semi. “Musim dingin telah berlalu, tibalah musim semi, saat menanam,” bebernya.

Lebih jauh Harjanto menambahkan, perayaan Imlek ini mirip perayaan sedekah bumi, perayaan kaum petani yang sangat bergantung alam. Menurutnya, mereka berharap alam bermurah hati memberi panen berlimpah dan tanaman dijauhkan dari hama dan malapetaka. “Karena itu, Imlek bukan sekadar angpao atau hura-hura. Imlek adalah ungkapan syukur. Imlek adalah saat merenung,” pungkasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini