Jamak dimaklumi kalau peranan perempuan, dalam sejarahnya, sering diabaikan di ranah publik, termasuk di dunia pendidikan. Pendidikan apapun: agama maupun sekuler, tinggi maupun dasar-menengah, dan seterusnya. Kenapa demikian? Karena dalam sejarah umat manusia, bahkan sejak zaman Sebelum Masehi, dunia pendidikan adalah “dunia laki-laki.” Laki-lakilah yang banyak menikmati hak-hak istimewa (privilage) pendidikan. Laki-lakilah yang banyak membuat aturan dan kebijakan pendidikan. Karena itu, laki-laki pula yang banyak memenuhi lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, kampus, dan institusi pendidikan lainnya).
Penting untuk diingat, dalam sejarah umat manusia, marginalisasi kaum perempuan di dunia pendidikan bukan hanya monopoli kelompok agama. Masyarakat sekuler (non-agama) juga mengalami hal serupa karena memang superioritas dan dominasi laki-laki atas perempuan itu tidak mengenal agama (atau non-agama). Masyarakat manapun dan berbasis apapun (agama, sekularisme, atau bukan keduanya) bisa mengalami fenomena praktik ketidakadilan gender dan peminggiran perempuan. Celakanya, agama hadir bukannya menyelesaikan masalah diskriminasi relasi laki-laki dan perempuan atau relasi gender yang tidak egaliter tetapi justru mendukung dominasi dan superioritas laki-laki atas perempuan. Akhirnya banyak kalangan, termasuk feminis, literary critics, dan aktivis hak asasi manusia, yang mengkritik, mengevaluasi, atau bahkan menuduh agama sebagai “corong” kaum laki-laki untuk menyalurkan kepentingan laki-laki.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby, Didi Kwartanada, Siti Rofiah, Jear Nenohai, Mariska Lauterboom, Kamila Hamidah & Manggar Eka Rahayu
Tebal Buku: xxxiii + 245 halaman
Tahun Terbit: November 2025
Penerbit: eLSA Press
Harga: –
![]()

