Potong Yadd Koruptor

[Semarang – elsaonline.com] “Sahabat Umar bin Khatab dalam suatu kasus pencurian pernah keluar dari “ketetapan” hukum Islam. Sahabat Umar dalam kasus pencurian pernah memutus bebas si pencuri karena alasan kemaslahatan umat. Si pencuri tidak dihukum sebagaimana mestinya yang diatur dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menetapkan bahwa setiap orang yang mencuri harus dipotong tanganya,” jelas Saiful Azis, Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.

Azis mengungkapkan hal tersebut dalam acara ngopi bareng dan diskusi rutin Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Selasa, (2/10). Acara diskusi santai, sembari nyeruput kopi dan menghisap rokok, ini bertempat di eLSA cafe and library Jalan Sunan Ampel nomor 11 perumahan Bukit Walisongo Permai, Ngaliyan, Semarang.

Hadir dalam acara tersebut, Khoirul Anwar (Kordinator Divisi Kajian eLSA), Tommy Andreas, Aktifis PMII Komisariat Walisongo dan juga beberapa aktifis PMII Rayon Syari’ah. Memang dalam beberapa kasus Sahabat Umar kerap berpendapat berbeda, bahkan keluar dari jalur ketentuan umum dalam hukum Islam.

“Ya salah satunya dalam kasus pencurian itu. Yang kemudian Sahabat Umar memilih tidak menghukum si pencuri. Namun sebaliknya Sahabat Umar membebaskan pelaku pencurian,” sambung Awang, sapaan akrab Khoirul Anwar. Memang hukuman potong tangan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38 itu oleh beberapa kalangan dianggap kurang memanusiakan.

Perpustakaan eLSA, tempat diskusi dan ngopi bareng

Ketika hukuman potong tangan itu benar-benar diterapkan maka akan sangat menyengsarakan si pelaku pencurian. Karena setelah si pencuri tidak memiliki tangan ia akan kehilangan kekuasaanya untuk bekerja. Artinya hukuman itu imbasnya tidak akan membuat jera pelaku. Namun akan semakin menyengsarakan. Apalagi jika si pencuri beralasan mengambil barang milik orang lain hanya karena sesuap nasi.

Baca Juga  Di Semarang, Diskursus Kebudayaan Tidak Berkembang

Selain alasan tidak manusiawi, kata qoth’ul yadd dalam ayat tersebut tidak begitu detail apakah pelaku pencurian itu dipotong tangannya semua, atau hanya sampai sikut atau bahkan hanya sebatas pergelangan tangan. Inilah yang tidak diperinci dalam ayat tersebut. “Kata qoth’ul yadd dalam surat al-Maidah ayat 38 itu tidak begitu diperinci. Apakah tangan yang dipotong itu hanya pergelangan tangan atau semuanya,” lanjut Awang.

Untuk mencari jawaban atas ketidak jelasan kata qoth’ul yadd dalam ayat tersebut, maka beberapa sarjana kontemporer mencoba mencari solusi dengan tafsiran yang lebih kontekstual. Beberapa sarjana menafsirkan kata yadd dengan kekuasaan. Jadi ketika ada yang mencuri barang milik orang lain yang ditiadakan bukan tangan secara fisik. Namun kekuasaan si pencuri untuk menggapai sesuatu.

Jika bentuk pencurian itu berupa korupsi, maka koruptor itu bisa dicopot dari kekuasaanya (jabatan). Atau bisa juga dengan cara dimiskinkan. “Dari ketidak jelasan kata yadd dalam ayat tersebut maka beberapa sarjana mencoba menafsirkan dengan lebih kontekstual. Yaitu kata yadd diartikan dengan kekuasaan. Maka jika ada yang mencuri tidak lagi dipotong tanganya secara fisik. Melainkan diberhentikan dari kekuasaanya. Bisa juga dengan cara dimiskinkan,” pungkas Awang. (Ceprudin/elsa-ol)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini