“(Ada) radikalisme dalam bentuk tindakan, (ada orang yang hanya menjadi) simpatisan, dan menjadi pendukung. Kelompok pendukung ini yang diam-diam membantu (mendanai gerakan radikal). Bahkan 35 persen pegawai negeri menjadi pendukung radikalisme,” kata aktifis senior ini saat mengisi Konferensi Jaringan Antar Iman (JAII) di Hotel Hekeziel, Bandung, Kamis (3/8/17) siang.
Menurutnya, data terkait dengan intoleran yang mengarah pada radikalise cukup signifikan. Dalam makalahnya, Musdah menyebut ada 59.9 masyarakat Indonesia intoleran kepada kelompok Kristen, Syiah, Ahmadiyah, Yahudi, Komunis, Buddist, dan Chinnese.
“Nah, sebanyak 92.2 persen tidak setuju jika seseorang dari kelompok tersebut (di atas) bekerja di pemerintahan. Lalu sebanyak 82. 4 persen kurang berkenan hidup bertetangga dengan kelompok tersebut,” tambah Sekretaris Jendral ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) ini.
Data tersebut, lanjut Musdah, didukung dengan maraknya ajakan berlaku radikal. “Ada orang sebanyak 7.7 persen, atau sekitar 11.5 juta jiwa, bersedia jika diajak masuk gerakan radikalisme dan sebanyak 0.4 atau 600 ribu jiwa pernah terlibat radikalisme,” ungkapnya.
Musdah bercerita saat berjumpa dengan Abu Bakar Baasyir. Pada pertemuan itu Musdah disodori data-data kemiskinan dan kebobrokan negara. Hemat kelompok radikal ini, kemiskinan dan kebobrokan itu diakibatkan karena pemerintahan yang thogut dan sistemnya hukumnya buatan manusia.
“Mereka menjelaskan keadaan ekonomi sangat bobrok. Didukung dengan data-data yang sangat lengkap. Gerakan radikalisme itu menggunakan cara-cara yang sangat canggih. Keadaan ekonomi yang demikian bobrok itu kata mereka diakibatkan karena sistem pemerintahan yang thogut, karena negaranya berdasarkan konstitusi buatan manusia,” tambahnya.
Musdah melanjutkan, saat ini ada perkembangan teknologi informasi yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Hematnya, kelompok radikal-intoleran ini mempunyai gerakan sistematis dengan membuat cyber army.
“Mereka kelompok yang militan, bayangkan mereka digaji Rp 1 juta sampai Rp 1.5 juta. Tapi kerjanya 24 jam untuk mengisi konten radikalisme. Gajinya tidak banyak tapi mereka sangat militan, entah mungkin karena ada iming-iming surganya mungkin,” selorohnya.
Musdah menilai, ada kaitan erat antara sikap intoleran dengan gerakan terorisme. Menurutnya, gerakan teroris merupakan ujung dari pemahaman eksklusif-intoleran.
“Mengapa intoleran dan radikal itu berbahaya. Ya karena radikal itu diawali dari transnasional, kemudian intoleran, kemudian radikal, setelah radikal selangkah lagi jadi teroris,” tandasnya.
Agama harus mampu berfungsi sebagai pemersatu, pendidikan merata, penegakan hukum yang tegas.
Acara konferensi jaringan antar iman digawangi Interfidei. Interfidei mengumpulkan semua jaringan antar kelompok agama dan kepercayaan se Indonesia. Konferensi ini berlangsung mulai 3 hingga 5 Agustus 2017.[Cep-@ceprudin-elsa-ol/003]