Oleh: Khoirul Anwar
Salah satu argumentasi pendapat yang tidak memperbolehkan ucapan selamat hari Natal yaitu; dengan mengucapkan “selamat” hari Natal sama dengan membenarkan keyakinan umat Kristen. Argumentasi ini bertentangan dengan praktik kenabian Muhammad atau biasa disebut dengan “sunnah nabi”, yakni sunnah yang menceritakan Nabi Muhammad mempersilahkan umat Kristen Najran beribadah di masjid nabi. Waktu itu masjid nabi sebagian digunakan untuk shalat bersama sahabat-sahabatnya, dan bagian lainnya digunakan misa umat Kristen.
Andai “mengucapkan selamat Natal” dianggap membenarkan keyakinan Kristen dan karena itu tidak diperbolehkan atau haram, maka dalam sunnah di atas, nabi secara jelas memfasilitasi pemeluk Kristen menunaikan keyakinannya, melaksanakan misa.
Al-Quran dan hadis (atau belakangan ada kelompok tertentu yang lebih senang menyebut “sunnah”) harus dipahami secara kontekstual. Dalam al-Quran dan hadis (sunnah) ada ayat yang secara tekstual memperlihatkan konflik atau hubungan disharmoni antarumat beragama, seperti dalam QS. At-Taubah 36 yang berisi perintah memerangi orang-orang musyrik secara keseluruhan. Namun ada juga yang berisi perintah menjunjung tinggi perdamaian dan menjalin hubungan harmoni di antara pemeluk agama seperti dalam QS. Al-Baqarah 208.
Ada ayat yang menyatakan kafir terhadap orang-orang yang mengatakan Allah adalah putera Maryam seperti dalam QS. Al-Mâ`idah 17, namun ada ayat lain yang berisi tentang pengakuan al-Quran terhadap agama Nashrani seperti dalam QS. Al-Baqarah 62.
Lalu bagaimana memahami ayat-ayat seperti di atas? Jawabannya, konteks sosio-historis tidak boleh dilupakan. Ayat-ayat yang mengandung arti hubungan disharmoni dan kecaman terhadap keyakinan lain adalah ayat yang turun dalam konteks “perang”, dan itu pun tertentu dengan lawan politiknya, bukan semua pemeluk agama selain Islam diperangi dan dimusuhi. Sedangkan non muslim yang tidak menjadi “musuh Nabi Muhammad” maka tidak boleh diperangi, tapi harus diperlakukan secara baik dan berupaya selalu menjunjung tinggi perdamaian.
Pertanyaannya kemudian, apa hukum asal relasi muslim dengan non muslim? Abû Zahrah dalam bukunya yang berjudul Nadhariyah al-Harb fî al-Islâm setelah meneliti semua ayat al-Quran yang berkaitan dengan tema ini berkesimpulan bahwa hukum asal hubungan muslim dengan non muslim adalah “damai” (tt.: 37). Jika “damai” menjadi hukum asal, maka “perang” hanyalah sementara, bahkan perang dilakukan karena terpaksa dan bertujuan untuk mengembalikan perdamaian.
Dalam keadaan damai Nabi Muhammad sangat baik sekali dalam menghormati pemeluk agama lain; mempersilahkan non muslim misa di masjidnya, menengok pembantunya yang beragama Yahudi ketika sakit, menghormati jenazah Yahudi, memberi hadiah kepada tetangga dan temannya yang memeluk Yahudi, juga nabi tak jarang menerima hadiah darinya.
Lalu bagaimana hukum seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada teman, tetangga, atau kerabat Kristen yang tidak memeranginya? Jawabannya sangat boleh, atau bahkan dianjurkan karena bagian dari berbuat baik (min a’mâli al-birr) sebagaimana diperintahkan di dalam QS. Al-Mumtahanah 8, “an-tabarrûhum wa tuqsithû ilaihim (berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka)”, juga perintah menghormati seperti dinyatakan dalam QS. An-Nisâ` 86: “Wa idzâ huyyîtum bi-tahiyyatin fa-hayyû bi-ahsana minhâ au ruddûhâ (Jika kalian diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah penghormatan itu).”
Akhirnya, tanpa mengurangi rasa hormat kepada saudara-saudara muslim yang memilih hukum haram mengucapkan selamat Natal, kami; keluarga besar Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) mengucapkan: “Selamat Natal & Tahun Baru, Semoga Kebaikan Selalu Menyertai Kita Semua.”