Semai Perdamaian di Hari Raya Waisak

Sumber: buddhachannel.tv
Sumber: buddhachannel.tv

[Semarang –elsaonline.com] Setiap umat beragama tentu mendambakan terciptanya perdamaian. Dalam setiap perayaan besar sebuah agama, pasti berefleksi akan terciptanya sebuah keharmonisan dalam beragama. Demikian juga dengan umat Buddha yang beberapa jam lagi merayakan hari besarnya, Waisak.

Ketua Dewan Pertimbangan Pandita, Majelis Agama Budha Teravada Indonesia (Magabudhi) Jawa Tengah, Henry Basuki menyampaikan harapan paling utama pada peringatan Waisak tahun ini terciptanya sebuah perdamaian. Pemimpin yang akan datang, harus bisa menciptakan keadaan yang harmonis antar umat beragama. “Harapan terhadap bangsa ini, supaya setiap orang menyadari sebagai orang Indonesia. Sadar dan mempertahankan warisan budaya yang sejak dulu mengutamakan kerukunan toleransi, sehingga terjadi kedamaian,” kata dia, saat dihubungi elsaonline, Selasa (13/5).

Seperti diketahui, puncak sakral perayaan hari besar Waisak 2014 diperkirakan akan sangat khusuk. Pasalnya, berdasarkan perhitungan perputaran bulan Waisak 2014, jatuh pada Kamis (5/15) tepat pukul 02.15.37 detik, dini hari. Secara nasional, perayaan akan diadakan di Candi Borobudur Magelang, Jawa Tengah. [Baca: Detik-detik Waisak 2014, Tiba Dini Hari]

Kurang Pemahaman Henry melanjutkan, kekerasan antar umat beragama karena kurang memahami ajaran agama lain. Karena kurang pemahaman, maka seseorang atau kelompok sangat mudah untuk menyalahkan ajaran atau keyakinan orang lain. Dalam kondisi demikian, komunikasi dengan jalinan silaturahmi harus digalakkan.

“Tidak menyatakan dirinya paling benar, dan menyalahkan keyakinan orang lain. Perlu adanya komunikasi yang baik antara komponen masyarakat. Kalau saling mengadakan silaturahmi satu sama lain saling menghargai,” imbuhnya. Sembari mengutip Negara Kertagama, ia meminta pemerintah untuk menjalankan tugasnya dengan sebenar-benarnya.

Dia juga mengamanatkan kepada calon Presiden yang baru supaya betul-betul menghargai warisan budaya asli Indonesia. “Pemerintah harus bisa melakukan tugas dan baik benar. Tidak melupakan jasa-jasa pendahulu kita. Ini saya menyontek dari Negara Kertagama, hormat kepada guru, dengan melaksanakan warisan budaya lokal,” tandasnya. [elsa-ol/Cep-@Ceprudin)

Baca Juga  Bercak Intoleransi di Sekolah; Situasi Jawa Tengah dalam Catatan ELSA
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini