Saya bukan anak Gus Dur, bukan pula kerabat dan sanak-saudaranya. Saya juga bukan “santri” Gus Dur. Saya juga bukan orang yang pernah mendapatkan “syafa’at” Gus Dur untuk menduduki jabatan-jabatan politis-strategis tertentu sebagai menteri, gubernur, bupati, tokoh partai, anggota dewan, dlsb. Saya juga bukan termasuk orang yang mendapat keuntungan politik dan material melimpah seperti halnya “orang-orang itu” yang berhasil “mengeksploitasi” Gus Dur untuk kepentingan pribadi. Sudah tak terhitung lagi jumlah orang yang mendapat keuntungan politik-ekonomi karena “berkah” Gus Dur ini. Tapi saya tidak pernah. Saya tetap miskin yang tinggal di sebuah kos-kosan kecil berukuran 2 x 3 m di sebuah kota kecil di Semarang. Kamar mini yang saya tempati itu terasa semakin sumpek dan sempit karena banyaknya tumpukan buku di dalamnya. Di waktu orang-orang hiruk-pikuk mendekati Gus Dur, terutama saat beliau menjadi presiden, saya menjauh dari kerumunan itu. Di saat orang ramai menghujat dan mengkritiknya karena kepemimpinannya dianggap “amburadul,” setiap Minggu—tanpa sepengetahuan Gus Dur dan orang-orang dekatnya tentu saja—saya rajin membela pemikiran dan tindakannya, meski hanya melalui kolom-kolom pendek di sebuah “tabloid Tionghoa” di Semarang.
(Sumanto Al-Qurtuby)
Buku ini merupakan “catatan akhir pekan” penulis saat bekerja sebagai redaktur di Tabloid Nurani Bangsa (sebuah tabloid Mingguan yang didirikan oleh tokoh-tokoh Tionghoa di Semarang) sejak 1999-2000. Kolom-kolom yang mengulas tentang “presiden kontroversial” KH Abdurrahman Wahid ini di bawah rubrik “Gus Dur.” Tentu saja tulisan-tulisan itu sangat penting untuk melihat dinamika ketika Gus Dur menjadi presiden, tindakannya maupun ucapan-ucapannya. (elsa-ol)