Oleh: Tedi Kholiludin
Dalam salah satu bagian dari buku “Menjaga Tradisi di Garis Tepi,” yang baru saja diterbitkan (Mei 2018), saya mencoba menelaah tentang mekanisme pertahanan kultural (cultural defense mechanism) muslim tradisional di Kota Semarang. Ide ini dilatari oleh kenyataan bahwa Semarang semakin kosmpolit dan metropolis. Pusat perbelanjaan serta hiburan semakin banyak. Pola berpikir yang sangat individualis sangat mungkin muncul dalam elemen sosial seperti ini.
Di sudut berbeda, ada kelompok masyarakat yang berupaya mempertahankan identitasnya sebagai muslim tradisional yang fondasi utamanya adalah solidaritas sosial, kebersamaan dan kekeluargaan. Nilai agama dan kebudayaan menjadi sumber untuk mempertahankan identitas kultural itu. Dan melalui penelitian yang sudah saya kerjakan, tiga mekanisme dikerjakan untuk membangun pertahanan kultural tersebut; memori kolektif, ritual (budaya dan agama) serta simbol-simbol (tokoh maupun ruang).
Diskusi lanjutan tentang Semarang yang hendak saya lakukan paska mengkaji model pertahanan kultural muslim Jawa adalah tentang multikulturalisme. Kekayaan budaya yang ada di Semarang, coba saya tempatkan dalam kerangka host-stranger, tuan rumah-tamu. Meski begitu, saya menyadari bahwa memang tidak ada budaya yang benar-benar “asli,” karena sejatinya kebudayaan selalu bersifat hibrid. Dalam banyak tulisannya, Djawahir Muhammad menyebut kebudayaan di Semarang sebagai “hybrid culture”.
Fenomena hybrid cultures ini (mengutip Djawahir Muhammad), setidaknya tercermin dalam kebudayaan Semarangan seperti Manten Kaji atau Dugderan serta kebudayaan peranakan (descendant) seperti halnya Gambang Semarang. Dalam posisi itu, kebudayaan Jawa dan juga tradisi Islam merupakan salah satu partisipan dan kontributor dalam pembentukan identitas masyarakat Semarang.
Sebagai kelompok yang ada di Pesisir, maka karakter masyarakat Pesisir juga tercermin dalam ekspresi keberislamannya. Kearifan lokal masyarakat Semarang, kata Djawahir Muhammad, bisa terformulasi sebagai “orang pesisir yang berkebudayaan secara Jawa dan Islam, merdeka atau mandiri, berorientasi pada gaya hidup kosmopolit (berciri kota, dinamis), bukan statis atau berorientasi pada kemapanan.”
Ketika melihat “jiwa kota” Semarang dari luaran kulit, saya kemudian membandingkan dengan kota-kota terdekat seperti Solo dan Demak. Di Solo, kebudayaan Jawa sungguh sangat kuat terasa, sementara di Demak, jelas, kebudayaan santri sangat memberi warna. Kebudayaan dominan ini tentu saja dalam pengertian kecenderungan umum, tidak berarti di seluruh wilayah (dalam arti hingga pelosok desa), ada budaya dominan. Di Semarang, situasi itu tidak saya jumpai.
Tidak adanya satu budaya dominan yang menguasai ruang publik inilah yang menarik untuk dikaji. Satu sisi, hal ini menandakan hadirnya sebuah pola masyarakat yang sangat egaliter (ini pendapat Tubagus Svarajati), namun di sisi lain, dialog diantara ragam kebudayaan itu juga tak terlampau intens, meski juga tidak saling menegasikan. Secara hipotetis, (perlu diuji dengan data yang lebih kaya), panorama kehidupan masyarakat multikultural Semarang ditandai oleh hadirnya tuan rumah kebudayaan bersama. Kebudayaan santri, Tionghoa dan Jawa ada dalam satu panggung bersama, yang sekali lagi, tidak terlalu intens dalam berdialog, namun juga tidak saling menafikan.
Dialog terjadi secara natural dan kebanyakan hanya terjadi ketika ada “kebutuhan” diantara elemen-elemen tersebut. Mulanya, saya menyimpulkan bahwa di Semarang, tidak ada tuan rumah bersama. Tetapi cara pandang saya ubah. Saya menggunakan kalimat positif, karena tidak adanya tuan rumah itu bisa berarti, bersama-sama sebagai tuan rumah, meski mungkin posisi masing-masing terbatas pada wilayah atau titik-titik tertentu.
Situasi itulah yang saya sebut sebagai “shared host culture,” tuan rumah kebudayaan bersama. Di Semarang, semua kebudayaan sama-sama menjadi tuan rumah. Kebudayaan-kebudayaan yang ada mendapatkan ruang yang sama untuk berekspresi dan mewarnai ruang publik tanpa mendominasi kebudayaan lainnya. Sehingga egalitarianisme disini bisa tercipta dengan baik.
Kesimpulan ini saya jangkarkan, setidaknya melalui tiga topangan utama; konflik berlatar belakang etnis dan agama yang tidak masif dan menyebabkan korban jiwa, pola pikir yang bersifat kontraktual (contractual mindset) serta hadirnya produk dan area kebudayaan bersama meskipun bersifat temporal.
Dalam catatan berjudul “Semarang, Panggung Baru Intoleransi?” saya mencermati situasi Semarang 4 tahun terakhir yang ditandai dengan munculnya tindakan-tindakan intoleran atas nama agama. Sejak 2014, lebih dari 10 peristiwa terjadi. Memang, tidak ada wilayah yang benar-benar lepas dari konflik, tetapi situasi pasca reformasi menunjukkan tanda-tanda dinamis dalam pergeseran kelompok sosial di Semarang. Ada kelompok-kelompok yang berusaha untuk tampil dengan isu primordial (baca: agama) di ruang publik dengan cara menegasikan kelompok lainnya.
Yang menarik, meski ada kejadian-kejadian (intoleransi) tersebut, tidak lantas merubah reputasi Semarang sebagai kota dengan citarasa egaliter yang tinggi. Sebuah organisasi masyarakat yang citranya lekat dengan kekerasan karena kerap mendelegitimasi aparat keamanan, ditolak kehadirannya di Semarang 13 April 2017 lalu. Elemen-elemen yang melakukan penolakan mengatakan bahwa Semarang maju bukan karena satu atau dua kelompok saja. Kelompok-kelompok yang rekam jejaknya dekat dengan kekerasan komunal, sulit untuk mendapatkan tempat di Semarang.
Keadaan ini setidaknya menunjukkan bahwa, di Semarang tidak ada, meminjam bahasanya Seyla Benhabib, claims of culture. Klaim-klaim kebudayaan kerap hadir dalam pelbagai bentuknya, termasuk agama. Di Semarang, klaim kebudayaan tertentu tak bisa mendapatkan ruang ketika pada saat yang sama, klaim yang ia tunjukkan hadir untuk menafikan kebudayaan lainnya. Tiket untuk bisa mendapatkan kapling di Semarang adalah tidak menegasikan yang lain.