
Oleh: Khoirul Anwar
Ada beberapa riwayat yang beragam tentang kapan nama hari Jum’at mulai ada. Beberapa riwayat tersebut dapat diklasifikasi menjadi dua:
Pertama, riwayat yang menyatakan nama hari Jum’at (yaumul jumu’ah) ada setelah Islam datang. Menurut riwayat ini orang yang pertama kali menamakan hari Jum’at dengan nama “Jum’at” adalah umat Islam Madinah (ahl al-madinah). Hal ini bermula dari penduduk Madinah yang pada hari itu berkumpul menunaikan shalat dengan diimami oleh As’ad bin Zurarah. Shalat Jum’at yang oleh sebagian ulama seperti Ibnu Hazm diklaim sebagai shalat Jum’at pertama dalam Islam ini dilakukan umat Islam Madinah pada saat nabi Muhammad Saw. belum hijrah ke kota tersebut.
Kedua, riwayat yang menginformasikan nama hari Jum’at sudah ada sejak Islam belum datang atau biasa dikenal dengan masa jahiliyah. Menurut Riwayat yang diikuti oleh al-Farra`, Tsa’lab, dan Ulama lainnya, orang yang pertama kali memberi nama hari “Jum’at” adalah Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib (Kakek ketujuh nabi Muhammad Saw). Pemberian nama Jum’at karena setiap hari itu orang-orang Quraisy berkumpul di rumah Ka’b dan Ka’b memberikan ceramah (khutbah) kepadanya. Dalam keyakinan orang Quraisy pra Islam, hari Jum’at merupakan hari besar (minal ayyamil mu’adhamah). Sebelum Ka’b memberi nama hari Jum’at, hari itu dinamakan hari ‘Arubah (yaumul ‘arubah). (Jawad Ali, Al-Mufashal fi Tarikh al-‘Arab Qabla al-Islam, Dar as-Saqi, cet. IV, 2001, vol. XVI, hal. 102).
Menurut penjelasan as-Suhaili penulis buku Ar-Raudl al-Unf fi Syarhi as-Sirah an-Nabawiyyah sebagaimana dikutip az-Zabidi, kebiasaan orang-orang Quraisy berkumpul di rumah Ka’b terjadi pada masa awal-awal Islam. Dalam perkumpulan tersebut Ka’b memberikan ceramah kepada mereka (khutbah) dan menginformasikan kepadanya bahwa anak kabilah mereka, keturunan Ka’b, yang bernama Muhammad telah diutus Allah menjadi nabi. Ka’b mengajak kepada orang-orang yang hadir untuk mengikuti dan mengimani Muhammad sebagai nabi utusan Allah. (Az-Zabidi, Tajul ‘Arus min Jawahir al-Qamus, Darul Hidayah, tt. vol. III, hal. 342).
Kendati dua riwayat di atas berbeda mengenai kapan nama Jum’at muncul dan sejak kapan shalat Jum’at mulai dikerjakan, namun keduanya sepakat memberikan kesimpulan bahwa yang memberi nama hari Jum’at bukan nabi Muhammad Saw. Demikian pula dengan permulaan shalat Jumat. Artinya, penamaan hari Jum’at dan acara shalat Jumat bukan atas perintah wahyu, karena saat itu belum ada wahyu yang memerintahkan umat Islam mengerjakan shalat Jum’at. Nabi sendiri baru memulai mengerjakan shalat Jumat ketika dalam perjalanan (hijrah) dari Makkah ke Madinah tepatnya di tengah Jurang Bani Salim bin ‘Auf (Bathn wadi bani salim bin’auf) setelah sebelumnya istirahat di Quba`. (At-Thabari, Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk, Dar at-Turats: Beirut, cet. II, 1387 H. vol. II, hal. 394).
Memang ada pendapat yang menyatakan shalat Jum’at diperintahkan Allah sejak nabi Muhammad Saw. berada di Makkah, yaitu pada malam isra` (lailatul isra`), namun saat itu shalat Jumat tidak dilakukan karena belum memenuhi syarat yang berupa jumlah bilangan jama’ah dan dilakukan secara terang-terangan. Umat Islam di Makkah berjumlah sedikit dan dalam menjalankan ibadah harus disembunyikan, sehingga menurut pendapat ini shalat Jum’at belum bisa dilaksanakan karena ada halangan (udzur). (Abi Bakar Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut-Libanon, cet. III, 2003, vol. II, hal. 88-89).
Pendapat ini ditentang keras oleh Ibnu Hajar. Menurutnya beberapa hadis shahih tentang shalat Jum’at menginformasikan bahwa shalat Jum’at diwajibkan di Madinah. Pendapat Ibnu hajar ini sejalan dengan ulama yang menggunakan QS. Al-Jumu’ah 9 sebagai dalil yang mewajibkan shalat Jum’at. Menurut kebanyakan mufassir QS. Al-Jumu’ah turun di Madinah. Jadi, pendapat yang menyatakan shalat Jum’at diwajibkan sejak nabi Muhammad Saw. berada di Makkah (qabla al-hijrah) tidak memiliki dasar yang kuat.
Dengan berpijak pada riwayat yang kedua di atas dapat dipahami bahwa shalat Jum’at sudah dilakukan oleh masyarakat Arab pra Islam. Riwayat kedua dianggap kuat karena al-Quran menyebut kata Jum’at tanpa keterangan, artinya al-Quran tidak mungkin menyebut suatu lafadz yang tidak dapat dimengerti maknanya oleh masyarakat Arab saat itu. Ada dua nama hari yang disebutkan al-Quran, yaitu “Sabtu” dalam QS. An-Nahl 124 yang turun di Makkah dan “Jum’at” dalam QS. Al-Jumu’ah 9 yang turun di Madinah. Masyarakat Arab pra Islam, terutama yang berada di Madinah mengetahui nama dua hari tersebut dari orang Yahudi yang ia jumpai.
Sedangkan pendapat, sebagaimana dikutip Jawad Ali, tidak dapat diterima karena jauh sebelum penduduk Madinah menunaikan shalat Jum’at masyarakat Arab pra Islam sudah mengenalnya. Di samping itu sebagaimana tergambar dalam riwayat tersebut penduduk Madinah mengerjakan shalat Jum’at dan mengganti nama hari dengan Jum’at bukan atas dasar perintah dari Allah atau utusan-Nya. Dengan demikian sangat dimungkinkan shalat Jum’at yang dikerjakan umat Islam Madinah sebelum nabi hijrah bagian dari kebiasaan yang sudah sekian lama dilakukan masyarakat Arab pra Islam.