Tutup Pengkaderan Ormas Radikal

Hairus Salim
Hairus Salim

[Semarang –elsaonline.com] Selama ini, pemerintah sepertinya mengalami kesulitan untuk mengatasi radikalisme. Bukannya semakin sedikit, kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh ormas keagamaan bahkan cenderung meningkat.

Meningkatnya kasus kekerasan ini juga diakui oleh peneliti Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS) Yogyakarta, Hairus Salim. Hal tersebut diungkapkannya pada kesempatan diskusi di hotel Grasia Semarang, Senin (7/4). Dia menyatakan itu atas refleksi beberapa kasus kekerasan yang dilakukan ormas keagamaan di Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

“Mengatasi kekerasan oleh ormas keagamaan dengan motif keyakinan dan agama memang sulit. Tapi saya masih yakin, pemerintah bisa mengatasinya jika dilakukan dengan sungguh-sungguh,” tuturnya, di sela-sela diskusi dengan perwakilan beberapa aktifis se-Jateng dan DIY itu.

Dia menilai, langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan deradikalisasi itu denga menutup akses pengkaderan. Menurutnya, selama ini pemerintah belum pernah melakukan pencegahan pengkaderan pelaku-pelaku kekerasan.

“Pemerintah lebih cenderung mengobati ujungnya. Jadi bukan pangkalnya yang diberantas. Kita bisa lihat, pemerintah memang telah menindak pelaku kekerasan termasuk pelaku teror. Tapi yang belum dilakukan adalah menutup akses mereka supaya tak lagi bisa melakukan kaderisasi,” ungkapnya.

Ekonomi

Alumnus Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada ini juga menyentil dari sisi pendanaan. Menurutnya, pemerintah bisa melakukan deradikalisasi dengan cara menutup akses ekonomi ormas radikal.

“Kalau dari sisi ekonomi bisa, tapi itu juga tak benar sepenuhnya. Karena dalam buktinya masih banyak yang kaya seperti Osama (bin Laden, red) itu melakukan aksi kekerasan. Selain itu di Indonesia juga banyak anak-anak atau mahasiswa elit (kaya) yang mindset-nya radikal,” ungkapnya.

Aktifis Wana Keluarga Cereberal Palsy Reni menyambung pembicaraan Hairus Salim. Dia menyampaikan, aksi kekerasan memang banyak motifnya.

Baca Juga  Menjadi Tamu di Rumah Sendiri

“Ternyata di luar Jawa, yang lingkungan satu agama, konflik yang terjadi itu antar suku. Dalam hal ini bisa juga karena motif ekonomi. Jadi kalau menurut saya sih urusan perut itu penting banget. Kalau ekonomi bisa berhasil, jika ekonomi itu berhasil maka kesenjangan di masyarakat akan bisa dikurangi,” tandasnya. [elsa-ol/Cep-@Ceprudin]

 

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...
Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini