
Wawancara dengan Prof John A. Titaley (Guru Besar Ilmu Teologi dan Rektor UKSW Salatiga)
Perkembangan aliran-aliran keagamaan dalam kekristenan itu dimungkingkan, karena Alkitab membuka peluang untuk dilakukannya proses itu. Bahkan konsep kunci tentang Trinitas misalnya, juga membuka peluang untuk ditafsirkan lagi. Begitu juga dengan Alkitab yang dalam pemahaman arus utama, hanya terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, juga menjadi lahan untuk ditafsirkan ulang.
Salah satu sekte yang dianggap melakukan interpretasi begitu melebar dari adalah Jesus Christ of Latter-Day Saint atau Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir. Orang biasanya menyebut Gereja Mormon karena mereka memiliki kitab Mormon selain Alkitab. Karena adanya kitab itulah mereka dianggap “menambahi” dari Alkitab sehingga dikategorikan sebagai aliran sesat. Begitu juga keyakinan terhadap Nabi baru, Joseph Smith. Bagaimana sesungguhnya kacamata teologis dan sosiologis digunakan untuk melihat perkembangan gereja Mormon? Mengapa tidak ada tindakan anarkis terhadap Gereja Mormon betapapun gereja ini dianggap keluar dari pakem?
Inilah wawancara Tedi Kholiludin dari elsaonline dengan Prof John A. Titaley Guru Besar Ilmu Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga sekaligus Rektor UKSW.
Dalam kekristenan, apa sebenarnya yang melatarbelakangi munculnya berbagai aliran pemikiran yang dianggap pinggiran seperti Mormon dan Saksi Yehova?
Kemunculan-kemunculan sekte dalam Kekristenan itu, secara teologis, lahir karena ada janji tentang imbalan surgawi yang mereka inginkan. Pemahaman terhadap Alkitab itu berbeda. Kehadiran sekte-sekte dalam Kekristenan itu hadir karena interpretasi yang bebas dalam Kristen. Makanya dulu Gereja Katolik tidak mau menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa lain hanya Latin. Alkitab diterjemahkan itu pada tahun 1950an. Sebelum itu masih memakai bahasa Latin. Ketika SD dan SMP saya memakai Alkitab yang berbahasa Latin. Sehingga kemungkinan untuk mengembangkan pikiran macam-macam tidak ada. Tetapi dalam Gereja Protestan, karena ada terjemahan alkitab ke dalam bahasa berbeda, maka membuka interpretasi yang berlainan. Pada sisi lain, siapa yang punya otoritas untuk mengatakan bahwa interpretasi itu salah, juga tidak ada dalam tradisi Gereja Protestan.
Jadi pada awalnya adalah interpretasi terhadap Alkitab yang kemudian ditambah dengan pengalaman yang istimewa lalu menjadi yakin bahwa interpretasinya betul dan mengembangkan keyakinannya itu. Dan ketika yang membuat gereja atau kelompok baru, siapa yang melarang? Ini terjadi di Eropa ketika interpretasi bebas itu berkembang, lalu ditentang gereja, mereka lari ke tempat yang bebas untuk mengembangkan interpretasi. Amerikalah tempatnya. Karena mereka tidak dapat mengembangkan pemahamannya yang berseberangan dengan gereja.
Jadi Lokus awalnya sekte-sekte itu Eropa?
Persis. Waktu itu, Amerika adalah suatu wilayah yang ditemukan dan disebut sebagai Benua Baru (ini berhubungan dengan yang disebut Robert N. Bellah sebagai Israel Baru). Mereka ditindas Eropa, tidak dapat mengembangkan rasa keagamaannya lalu mereka sebut Dunia Baru. Dan disini tidak ada yang melarang.
Memang, Mormon pernah ditolak di New York lalu pindah ke Utah. Dan sistem negara bagian itu kemudian memungkinkan Utah yang kemudian menjadi negara dengan corak Mormon yang kuat. Jadi awalnya adalah kebebasan menginterpretasi Alkitab. Lalu mempertahankan in groupnya yang kuat, karena mereka harus eksis berhdapan dengan Mainline Churches, kemudian mereka mengembangkan etos kerja yang istimewa. Dan hasilnya adalah warga gereja dengan prestasi yang hebat sampai sekarang.
Apakah itu karena mereka tidak digaji oleh Gereja?
Mereka melakukan itu sebagai panggilan.
Ada yang mengatakan Mormon itu American Religion?
Mormon itu memang ”American Religion”, karena mereka mengatakan Gereja, tetapi Kitab Mormon itu adalah sesuatu yang ”berbeda”. Dan saya kira mereka bisa saja mengatakan kalau Mormon itu juga wahyu karena Alkitab membuka penafsiran atas hal tersebut. Amerika adalah tempat yang tepat untuk mengembangkan pemahaman keagamaan apapun. Mereka membiarkan pengembangan religious freedom semacam itu. Tak hanya Mormon, Satanic Church pun ada. Silahkan kamu meyakini, tetapi tidak melanggar hukum positif. Ketika ada anggota keluarga dari Gereja Setan yang mati, baru dipermasalahkan. Sampai sekte-sekte yang menganjurkan bunuh diri itu juga ada, karena kebebasan.
Kalau dalam konteks Mormon, apakah mereka bisa berkembang di Indonesia dengan budaya Amerikanya?
Sebenarnya itu juga kan terjadi dengan Islam misalnya. Meski Mormon datang ke Indonesia dengan membawa budaya Amerika, bukan tidak mungkin gereja ini akan banyak diminati. Karena hal itu juga berlaku, dalam beberapa bagian ajaran, dengan Islam misalnya. Dan itu terjadi di Utah. Mereka itu benar-benar mengembangkan teknologi, karena etos kerjanya itu. Pengusaha dan enterpreneur besar-besar itu adalah warga Mormon. Pernah ada Presiden University of California Berkley itu dari Mormon. Jadi secara sosiologis, in group feelingnya itu yang membuat etos kerjanya kuat. We have to survive and survive to prove, bahwa mereka itu benar. Meski persoalannya dalam agama siapa yang berhak mengatakan bahwa ini benar dan salah.

Bagi Kekristenan sendiri, kehadiran mereka itu memiliki makna apa?
Yang pertama itu adalah tantangan bahwa interpretasi mereka mempengaruhi terhadap pola hidupnya. Apalagi jika mereka bisa membuktikan dengan kesuksesan-kesuksesan. Sehingga itulah ancaman bagi Mainline Churches. Karena dalam konteks Amerika, sekarang ini masalah yang utama adalah uang. Kita jadi anggota gereja juga uang yang harus diutamakan. Kamu mau kasih berapa buat gereja. Teman istri saya orang Mexico belajar di Community College akhirnya tertarik masuk Mormon karena etos kerjanya. Dan successfull. Mereka berhasil membangun rumah.
Apakah itu artinya ada korelasi antara iman dan etos kerja?
Sudah pasti ada dan itu terjadi. Misalnya Gereja Bethani bilang ada successfull family.
Faktor apa di Indonesia yang memungkinkan berkembang?
Di Indonesia, faktor pertama yang memungkinkan mereka berkembang adalah karena faktor kemiskinan. Dan dengan begitu mereka menanamkan etos kerja yang luar biasa dan bisa membuat orang merasa seolah diberkati. Yang kedua, karena memang agama-agama besar itu bukan agama asli jadi tidak mengakar.
Apakah dengan begitu Mormon akan mengakar?
Tidak juga. Kekristenan sampai sekarang tidak pernah mengakar. Malah kepercayaan asli yang terus eksis.
Ketika Mormon mentransfer Gereja Amerika lengkap dengan mentalitasnya, bukan berarti langsung menghasilkan benturan dan mereka tertolak. Karena itu juga terjadi dengan Pentakosta. Karena kemiskinan kita dengan pendekatan melalui disiplin dan etos kerja mereka mendapatkan kesempatan. Dan harus disadari pula kalau Gereja Mormon itu betul-betul diatur dari Utah.
Jika semua jemaat memiliki kesempatan untuk khotbah, mungkin disitu ada unsur demokratisnya, sehingga tidak perlu ada pendeta yang memberi khotbah. Mereka punya televisi, rumah sakit, universitas (Brigham Young University) dan tidak pernah ketinggalan dalam teknologi dan informasi. Mereka pernah mengundang orang untuk berbicara agama. Lalu ada kritik terhadap definisi agamanya Emile Durkheim dan Clifford Geertz. Ini bukan agama yang seperti dalam praktek orang Mormon, karena dalam agama juga ada kuasa Bapa Surgawi.
Cuma yang Positif dalam Kekristenan, biasanya tidak ada penyesatan melalui lembaga?
Karena mainline churches juga belum tentu betul melakukan interpretasi. Meski sejarah juga pernah melakukan pemberangusan terhadap sekte dalam kekristenan. Seperti juga terhadap Ahmadiyyah di Indonesia. Dan Mormon juga mengalami masa pahit, disesatkan dan bahkan diberangu. Di Indonesia Mormon mengalami persoalan dengan pemerintah. Dengan gereja lain tidak terlalu.
Kalau secara kultur?
Mungkin saja ada penyesatan dari individu-individu, tetapi Mormon itu ada diantara orang banyak. Bahwa pandangan mereka itu eksklusif, sebenarnya suatu yang juga ada dalam setiap sekte. Jadi tidak terlalu jelas identifikasinya.
Kalau konsep kunci Mormon dipahami oleh mainline, bukankah itu berarti heretic?
Meski Mormon memiliki doktrin yang sangat berbeda dengan pemahaman arus utama seperti tidak adanya konsep Trinitas, maka tidak ada yang bisa mengatakan bahwa penolakan itu sesuatu yang salah. Kita tidak bisa bilang kalau sudah ada pakem, lalu pakemnya siapa? Kecuali jika Tuhan mengatakan ini pakemnya.
Kalau mempelajari Alkitab, maka itulah konsekuensinya. Alkitab Kristen itu kumpulan tulisan yang berbeda-beda, sehingga interpretasinya juga beda-beda. Karena Alkitab membuka peluang untuk menafsirkan macam-macam. Termasuk dalam hal yang fundamen sekalipun. Konsep Trinitas misalnya. Itu berkembang abad ke 3 dan 4. Abad pertama interpretasi itu tidak ada. Itu terjadi karena interpretasi Injil Yohanes. Interpretasi itu datang dari Pantheisme dan Hellenisme. Ada banyak Dewa meski yang banyak itu datang dari satu hakikat. Artinya itu produk budaya dan Helenistik yang tidak ada di Yahudi. Karena Yahudi itu monoteistik.
Apakah gereja arus utama berupaya mengembangkan keterbukaan terhadap alur pemikiran itu?
Gak juga. Kasus Ioanes Rakhmat misalnya. Gereja berdalih pandangannya tidak sesuai dengan pandangan teologi kebanyakan warga gereja. Gereja berlindung dengan dalih itu.
Itu artinya apa bagi perkembangan pemikiran keagamaan?
Ya macet. Pemikiran kreatif dipasung. Artinya, lembaga-lembaga keagamaan manapun berpotensi akan merasa menjadi yang paling otoritatif.
Hubungannya lembaga keagamaan dengan sekte-sekte itu sendiri?
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia atau PGI tidak melakukan kutukan atau penyesatan terhadap ajaran-ajaran yang menyempal. Dalam kasus Pendeta Sibuea dengan Sekte Kiamatnya, PGI juga tidak bisa mengatakan itu sesat. Yang paling bisa dilakukan adalah ini interpretasinya berbeda. Ini sebenarnya sikap bijak dalam melihat persalan, meski bukan tidak mungkin jika lembaga ini punya potensi untuk menjadi otoriter.
Bilamana lembaga keagamaan itu menjadi otoriter?
Saya kira tidak akan pernah bisa. Dalam Protestan tidak ada saya kira. PGI misalnya hanya akan menjadi otoriter terhadap anggotanya saja. Meski begitu juga kewenangan yang dibuat tidak mesti dipatuhi oleh anggota-anggota PGI. Karena kesepakatan yang dibuat itu bukan kebenaran. Dalam suatu gereja ada badan yang punya otoritas, saya bisa dicopot dari kependetaan karena mengajarkan teologi yang ditetapkan gereja. Namun, dalam PGI badan itu tidak ada.
Perkembangan ke depan, sekte-sekte yang ada di Indonesia akan berjalan terkait dengan keterbukaan dan toleransi masyarakat. Mungkin semua agama di Indonesia relatif kurang bisa menerima perbedaan. Itu pelajaran bagi mainline churches bahwa dibanding gereja-gereja baru itu mereka tidak bisa memberikan apa-apa kepada jemaat. Bahwa mereka itu anggotanya banyak, tetapi toh tidak bisa bikin apa-apa. Kita tidak mampu memberikan apa yang mereka butuhkan. Mereka memerlukan spiritualitas. Gereja arus utama tidak memiliki itu.
Di sisi lain, gereja-gereja baru itu sangat mengeksploitasi rasa takut. Mereka menakut-nakuti kalau Tuhan marah, neraka dan lainnya. Lalu orang menjadi takut karena itu, sehingga uang dikeluarkan untuk itu, karena ada berkat. Mengapa mereka menjadi begitu yakin dengan ajaran sekte-sekte itu, karena saat membaca Perjanjian Baru itu ada mukjizat mereka mengaitkannya dengan itu. Tetapi apakah itu benar-benar dari Tuhan? Anggota sekte-sekte itu merasa nyaman dengan model beragama seperti itu.
Interpretasi kita terhadap Alkitab itu sangat tergantung dengan ketinggian peradaban yang kita miliki. Dari Kristen, karena Alkitabnya tidak fokus. Lalu ditambah tidak ada otoritas yang bisa memverifikasi.
Ke depan, Kekristenan akan sangat dihiasi dengan fenomena kemunculan sekte-sekte. Karena tidak ada otoritas tunggal. Dan beban yang ditanggung oleh Kekristenan adalah bagaimana menghadapi fenomena pluralitas keyakinan itu secara bijak.
Mormon dianggap Americanism itu karena mereka sangat indigenous, entah ada hubungannnya dengan Indian atau tidak. Bagi saya, Mormon itu seperti keyakinan yang dibuat, secara sosiologis bisa dikatakan seperti itu. Mereka menganggap itu keyakinan dan betul, dengan keyakinan itu mereka menjadi benar karena tidak ragu dengan keyakinan tersebut. Dan dengan begitu, mereka bisa meyakinkan orang lain untuk mempercayai keyakinan itu.
Mormon akan sangat sulit mengakar dengan keindonesiaan. Karena mereka tidak bisa memisahkan diri dengan asal muasalnya (baca: Amerika). Dan sama halnya dengan Islam serta Kristen. Mereka akan banyak bertentangan dengan akar kebudayaan bangsa Indonesia. (elsa-ol/01)