Mediakeberagaman.CommSolo. Sejatinya hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan keyakinan. Hak ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Jaminan terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat pada instrumen HAM internasional dan peraturan perundang-undangan nasional.
Berdasarkan pengamatan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Jawa Tengah, hak untuk bebas beragama dan mengekspresikan keyakinan keagamaan terhitung paling pelik dan memiliki potensi ledakan yang luar biasa. “Dibanding dengan isu ada dalam katagori hak sipil lainnya, hak untuk bebas beragama dan mengekspresikan keyakinan keagamaan terhitung paling pelik dan memiliki potensi ledakan yang luar biasa,” kata Tedi Kholiludin aktifis eLSA Jateng, saat menjadi pembicara dalam acara “Traning Resolusi Konflik bagi Pemerintah, Forum Kerukunan dan Lembaga Agama,” di Solo, baru-baru ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan, gejala intoleransi yang terjadi di Jawa Tengah, dengan melihat kasus tahun 2009, dapat digolongkan tiga tipe. Pertama, intoleransi yang bersumber regulasi atau struktur kenegaraan. Titik poin terjadinya intoleransi atau pelanggaran terhadap kehidupan beragamaan adalah isu menyangkut aturan keberagamaan. Misal UU No 1 PNPS 1965 atau UU Adminduk 2006. Dua aturan itu masih bermasalah karena ada hak dari warga negara yang terabaikan. Dalam UU Adminduk misalnya, status kelompok kepercayaan dianggap sebagai kelompok yang “belum beragama”, sehingga mereka menjadi rebutan agama-agama misi menjadi bagian dari kelompok agamanya.
Regulasi yang sempat muncul di beberapa daerah di Jawa Tengah dengan nuansa keberagamaan antara lain terjadi di Purworejo (Perda Miras), Tegal ( Perda Miras), Surakarta (Perda Miras) dan Kudus (Perda Pembelajaran Kitab Suci dan Pelacuran).
Kedua, intoleransi yang bersumbernya berasal dari lemahnya penegakan hukum. Lemahnya wawasan kemajemukan dari penegak hukum yang menjadi sikap intoleransi. Potret yang sangat jelas dari fenomena ini adalah kala aparat kepolisian membubarkan pengajian Jemaah Ahmadiyyah di Pondok Pesantren Soko Tunggal, Sendangguwo, Semarang. Kasus lain yang menjadi contoh adalah pembubaran program nasi murah untuk buka puasa bersama yang diselenggarakan oleg Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan di Solo.
Ketiga, tindakan intoleransi yang melibatkan masyarakat atau lebih tepatnya tindakan yang banyak diinisiasi oleh milisi sipil. Tahun 2009, peristiwa ini cukup banyak terjadi yang melibatkan Front Pemela islam (FPI) dan Hizbullah. FPI misalnya bertindak brutal ketika melakukan razia terhadap minuman keras serta saat mereka menutup paksa rumah yang diduga sebagai penampungan pekerja seks komersial (PSK). Sementara Hizbullah juga tak kalah sigap, ketika mereka mendatangi salah satu radio di Solo yang memutar lagu “genjer-genjer” karena dianggap akan membangkitkan gairah komunisme di Indonesia.
Jika perhatikan secara seksama, konflik tersebut tidak dalam ketegangan antar umat beragama, semisal konflik antara umat Islam dan Kristen atau lainnya. Di lapangan konflik lebih banyak terjadi antar umat beragama dengan negara serta konflik intern umat Islam. Sumber konflik itu, dugaan Tedi, adalah kompleksitas persolan dari motif ekonomi, politik dan yang paling penting adalah interpretasi yang ahistoris terhadap doktrin agama.
Usai seminar, kemudian dilanjutkan pelatihan resolusi konflik. Acara digagas oleh Kantor Kesantuan Kebangsaan Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Kota Solo bekerjasama dengan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan HAM (Spek-Ham), menampilkan H Dian Nafi’ MPd, dari Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan, sebagai fasilitator “pemberdayaam masyarakat untuk transformasi konflik”.
Kegiatan itu diikuti oleh 25 peserta yang berasal dari pejabat Kota Solo, Kementerian Agama, Poltabes Surakarta, MUI, NU, Muhammadiyah, Perguruan Al-Islam, MTA, FKUB, PHDI, MAKIN, FPBI, FKKP, BAGKS, FPLAG, perwakilan 5 camat di Kota Solo, dan beberapa tokoh masyarakat. Pertemuan dinilai sangat penting, karena mampu mempertemukan pejabat pemerintahan, kepolisian dan tokoh-tokoh masyarakat dalam seminar dan pelatihan yang mempergunakan metode studi kasus, tugas kelompok, dan simulasi mediasi. Suasana seminar dan pelatihan itu bisa lebih cair, komunikatif dan masing-masing bisa terbuka menyampaikan pertanyaan, informasi dan perspektifnya. (ccp).