- Ilustrasi: www.patheos.com
[Semarang – elsaonline.com] “Setelah saya pikir lebih dalam, agama itu pada dasarnya adalah sumber motivasi,” kata Ulil Abshar-Abdalla. Mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) itu menuturkan hal tersebut saat berdiskusi dengan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Rabu (26/2).
Pria yang juga pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Tashwirul Afkar PP Lakpesdam Nahdlatul Ulaama itu mengatakan bahwa agama menempati ruang yang tak bisa ditempati oleh elemen lain. Karena agama hanya bisa melakukan itu.
Di era modern, sambung Ulil, semua kehidupan sudah disediakan oleh negara. Untuk banjir, reboisasi hutan dan lain-lain, negara sudah menyediakan semuanya. “Nah, agama menyediakan apa yang tak bisa dipenuhi oleh negara,” terang menantu Rais Syuriyah PBNU, KH. Musthafa Bisri.
“Makanya, istighotsah menjadi sangat laku,” sela Khoirul Anwar, aktivis eLSA.
Dalam keadan terjepit sekalipun, orang masih bisa punya harapan. Dan agama, sekali lagi, menjadi sumber harapan tersebut.
“Saya lebih suka dengan pemikirannya Weber,” terang Ulil. Sosiologi Weber, kata Ulil lebih menekankan pada makna (meaning). Ini yang membedakannya dengan Karl Marx. Marx menitikberatkan pada perubahan dalam konsep sosiologinya. Pendekatan Weberian ini lebih pas dalam melihat agama dewasa ini. Mereka yang beragama pasti akan mencari makna dalam kehidupannya.
Dengan pendekatan semacam ini, Ulil berharap bahwa konsep Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) juga bisa dirumuskan dengan menggunakan skema ini. “Selama ini kan Aswaja masih dikembangkan dengan nada apologetik. Ia dirumuskan sebagai benteng pertahanan dari serangan Khawarij, Syiah dan lain-lain. Sekarang, perlu kiranya memunculkan teorema tentang Aswaja sebagai Ideologi Harapan atau Ideology of Hope. Aswaja sebagai sumber motivasi,” jelas Ulil di akhir pembicaraan. [elsa-ol/T-Kh]