Ulil Abshar-Abdalla: Dunia Ilmu Pengetahuan Mengalami Gejala Profesionalisasi

[Semarang -elsaonline.com] Keluarga besar Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama [ELSA] menggelar Halal Bihalal, Minggu (16/6) kemarin. Tak hanya staf dan seluruh peneliti, kegiatan yang digelar di kantor ELSA tersebut juga dihadiri oleh intelektual muslim, Ulil Abshar-Abdalla serta istrinya, Ienas Tsuraiyya. Tak ketinggalan, Ketua Dewan Pembina ELSA, Drs. H. Abu Hapsin, PhD juga ikut serta dalam acara tersebut.

Khoirul Anwar, selaku ketua panitia menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran semua undangan. “Ini adalah Halal Bihalal yang pertama, dan sangat istimewa sekali karena ada Mas Ulil beserta istri yang turut berkumpul bersama kita. Nanti kami mintakan taushiyahnya bersama Pak Abu juga sekalian”, katanya membuka acara. Mahasiswa Doktor Studi Islam itu kemudian mempersilahkan Tedi Kholiludin, selaku ketua yayasan untuk memberi sambutan.

“Saat ini ELSA sudah berdiri kurang lebih 14 tahun,” Tedi membuka sambutannya. Dalam perjalanannya, lembaga ini bergerak dari satu concern ke fokus yang lain. Karena didirikan oleh mantan aktivis jurnalis kampus, maka kegiatan awal yang dilakukan tentu tak jauh dari kajian dan penerbitan. Seiring berjalannya waktu, lembaga ini turut terlibat dalam pemberdayaan hingga advokasi kebijakan publik.

“Rata-rata kami tidak bekerja di ELSA. Karena sekarang ini, latar belakang teman-teman yang ada di ELSA mayoritas adalah dosen dan tenaga pendidik. Karenanya, kami tetap berusaha untuk fokus pada dunia akademis yang disambungkan dengan semangat untuk mengabdi pada masyarakat,” tambah Tedi.

Abu Hapsin, selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan ELSA menambahkan bahwa selama ini, masih ada kekurangan yang harus diperbaiki oleh ELSA dan segenap staf di dalamnya. “Saya masih melihat ELSA perlu memperbaiki diri dalam dua aspek. Pertama, penelitian kuantitatif. Kedua, penguasaan bahasa asing,” tandasnya. Karenanya, menurut Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah periode 2013-2018 ini, pengembangan kedepan setidaknya bisa memprioritaskan dua aspek ini.

Baca Juga  Eskalasi Konflik Diprediksi Terus Meningkat

Profesionalisasi Dunia Pengetahuan
Karena kadung hadir di kegiatan Halal Bihalal, Ulil Abshar-Abdalla “dipaksa” Anwar untuk turut memberikan komentarnya. Di forum itu, pengampu “Ngaji Ihya” itu menyoroti fenomena di dunia pendidikan yang menurutnya, sangat menyedihkan. “Sekarang ini terjadi gejala profesionalisasi ilmu. Dunia (pengetahuan) yang hanya melihat dirinya sendiri, tidak menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang lebih luas. Seperti orang yang autis,” Ulil mencoba membukakan perspektif.

Ada situasi dimana orang mengkotak-kotakan pengetahuan, dibirokratisasi dan kemudian terpisah dari kehidupan nyata. “Ada satu artikel yang ditulis profesor dari University of Chicago, judulnya ‘How Political Sciences Became Irrelevant.’ Dalam artikel ini, Michael C. Desch namanya, bercerita bagaimana ilmu politik di Amerika sibuk dengan dirinya sendiri, tidak peduli dengan perkembangan masyarakat. Ilmu menjadi ilmu untuk dirinya sendiri. Dia tidak lagi memikirkan apakah ilmu ini bermanfaat untuk masyarakat di luarnya,” kritiknya. “Ini yang saya tidak ingin terjadi,” imbuhnya.

Di Indonesia, sekarang, mulai kelihatan perkembangan dunia kesarjanaan meniru di Barat, terjadi profesionalisasi. Dengan pencanggihan metode yang makin sophisticated, dan semakin susah dipahami orang di luar dirinya. Makin profesional bidang pengetahuan, istilah-istilahnya semakin tidak dipahami oleh orang awam. Pengetahuan menjadi kesibukan para pelakunya sendiri. “Tidak bisa berbicara pada orang banyak dan ini yang dikritik oleh Desch,” tandas Ulil.

“Pertanyannya kemudian, sebenarnya ilmu dikembangkan untuk apa? Meningkatkan karir kesarjanaan ilmuwannya sendiri, atau sebagai bagian dari cara memperbaiki masyarakat. Kalau saya tidak suka ilmu semakin profesional, tapi semakin tidak punya kaitan, makin terisolir dari lingkungan sosialnya. Semakin kehilangan relevansi,” Alumnus Boston University itu menjelaskan perspektifnya

Di akhir percakapan, Ulil berpesan, ELSA, sambil mengembangkan dunia pengetahuan, terlibat dalam percakapan akademis yang makin baik, juga jangan melupakan, bahwa tujuan akhir pengetahuan adalah memperbaiki masyarakat. “Itu menurut saya yang penting sekali. Kontak antara ilmu dan dunia sosial harus tetap dijaga. Dunia sosial bukan semata-mata objek riset, tetapi tujuan terakhir untuk ilmu itu dipakai, untuk memperbaiki dunia kehidupan (sosial),” pesannya. [elsa-ol/TKh]

Baca Juga  Di Semarang, Hubungan Antar Agama Tak Jadi Masalah
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini