Oleh: Khoirul Anwar
Aimmatul arba’ah (empat pendiri madzhab) memiliki ciri khas masing-masing dalam pengembangan fikih. Imam as-Syafi’i menyumbangkan Qiyas, Hanafi memiliki ciri khas berupa istihsan, dan Maliki berkontribusi pada mashlahah mursalah. Hanya Ahmad bin Hanbal (Pendiri madzhab Hanbali) yang tidak memiliki sumbangan khas dalam pengembangan fikih.
Istihsan dan mashlahah mursalah merupakan teori penggalian hukum Islam (istinbath al-hukmi) yang tidak berlandaskan teks (al-Quran dan Hadis), artinya akal bermain dengan bebas tanpa dibatasi oleh penjara teks. Berbeda dengan keduanya, teori Qiyas yang digagas as-Syafi’i masih terikat dengan teks, kendati peran akal lebih dominan.
Qiyas adalah menganalogikan persoalan yang tidak termuat dalam teks dengan persoalan yang terdapat dalam teks demi mencari status hukumnya. Dalam hal ini akal berperan sebagai “pemaksa kecocokan”, yakni berusaha menyamakan satu persoalan dengan persoalan lain melalui pencarian titik temu yang biasa disebut dengan ‘illat.
Dalam Qiyas akal tidak dapat dimainkan dengan bebas karena terikat dengan teks yang akan dijadikan sebagai persamaan persoalan di luar teks.
Teori hukum Islam as-Syafi’i lebih kaku ketimbang dua pendiri madzhab yang menjadi seniornya, Maliki dan Hanafi. Namun kekakuan as-Syafi’i dapat dimaklumi karena beliau menghadapi masa kekacauan ideologi fikih yang tidak menentu.
Dari sini kemudian as-Syafi’i menggagas fikih yang berwatak layaknya hukum positif, yakni jelas, pasti, dan universal. Oleh karena itu tidak heran jika as-Syafi’i mendefinisikan “illat” yang menjadi ketergantungan hukum dengan sifat yang dapat dibatasi dan jelas (al-mundlabith). Sebagai contoh bisa disebutkan disini soal jarak tempuh bepergian menjadi ‘illat (alasan) seseorang boleh menjamak atau mengqashar shalat, bukan rasa capek atau berat (masyaqqah) yang menyebabkan seseorang mendapat keringanan hukum (rukhshah). Kenapa demikian? Karena jarak tempuh lebih terukur dan jelas, sedangkan rasa capek tidak memiliki batasan yang jelas. Keringanan hukum yang disebabkan oleh bepergian atau jarak tempuh (as-safar) bersifat universal, mutlak, artinya untuk semua kalangan dengan beragam usia, jenis kelamin, kesehatan, kendaraan yang dipakai, dan lain sebagainya. Gagasan fikih demikian serupa dengan hukum positif yang juga harus jelas, pasti dan universal. Jadi di tangan as-Syafi’i hukum Islam memiliki sifat seperti hukum positif dan as-Syafi’i menjadi seperti Hakim.
Sedangkan gagasan fikih Abu Hanifah yang diproduksi melalui istihsan dan Maliki melalui mashlahah mursalalah menjadikan hukum Islam fleksibel, dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi pengguna hukum Islam.
Oleh karena itu menurut Ulil Abshar Abdalla fikih ala as-Syafi’i hanya cocok untuk para hakim. Sedangkan bagi intelektual lebih tepat menggunakan fikih dengan metodologi besutan Abu Hanifah dan Maliki yang memberikan porsi besar terhadap akal tanpa terikat dengan teks.
Di bagian lain, Ulil menegaskan kalau maqashid al-Syari’ah pada dasarnya bukan sebagai metodologi hukum Islam, tapi hanya sebagai esensinya. Artinya, penjelasan tentang esensi hukum Islam terwadahi dalam pembahasan maqashid al-syari’ah. Sedangkan metodologi penggalian hukum Islam yang progresif dapat ditempuh melalui istihsan atau mashlahah mursalah.
Melalui penggunaan dua metodologi inilah hukum Islam memiliki masa depan yang cerah dan dapat berdialog dengan kondisi kekinian dan kedisinian.