Oleh : Ceprudin
Judul : Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar
Penulis : Andre Moller
Tahun terbit : September, 2005
Halaman : xi+309
Penerbit : Nalar, Jakarta
Lukisan mengenai kegiatan Ramadhan di Jawa pernah dikenang oleh antropolog Koentjaraningrat kalau “orang Jawa senang mencari kesusahan dan menderita ketaknyamanan dengan sengaja untuk tujuan agama”. Umat Islam tak terkecuali di Jawa, percaya bahwa dengan dirinya menahan lapar selama satu bulan, ia akan mendapatkan ridho Allah.
Bahkan umat Islam di Jawa jauh-jauh hari menjelang bulan Ramadhan sudah melakukan ritus-ritus. biasanya diawali sejak bulan Ruwah (Syakban). Di bulan Ruwah, umat Islam menyibukkan dengan kegiatan atau pekerjaan yang memungkinkan diselesaikan (dipadatkan) pada bulan itu. Di Semarang ada Dugderan yang sangat terkenal dan erat kaitannya dengan Ramadhan di Jawa.
Lebih jauh lagi, seiring dengan perkembangan budaya Jawa aksesoris menjelang Ramadhan ada yang menggunakan secara simbol “politis”. Tujuan politis pada bulan Ramadhan dapat dipahami dalam konteks pemikiran yang menganggap ramadhan sebagai sebuah “momentum”-nya umat Islam. Termasuk di dalamnya adalah kontroversi hisab-rukyat dalam menentukan satu syawal pun ikut mewarnai. Meskipun tidak terjadi kontras begitu serius.
Hal yang masih kontroversi dalam ritus menjelang Ramadhan yaitu nyekar. Nyekar adalah kegiatan berkunjung ke makam-makam yang dianggap punya kelebihan semasa hidupnya di dunia. Pro-kontra ini terjadi antara Islam tradisional (pro) dan modernisme (kontra). Bagaimana pun juga umat Islam yang percaya terhadap nyekar, bertujuan ketika ia memasuki bulan ramadhan dalam keadaan suci dan untuk meringankan beban keluarganya yang telah wafat.
Memasuki bulan Ramadhan menurut orang Jawa harus benar-benar suci secara komprehensif. Dimulai dengan lingkungan, dimana ada tradisi bersih lingkungan. Di bulan ramadhan, lingkungan harus bersih dari kotoran sampah dan juga dipahami bersih dari perbuatan amoral. Karena dianggap dalam bulan ramadhan lebih mengganggu aktifitas berpuasa.
Sebelum berpuasa, umat Islam pada malam hari disunnahkan untuk makan sahur. Teriakan anak-anak atau ta’mir mesjid yang mengumandangkan agar menyegerakan bersahur mengakibatkan suasana menjadi riang tak seperti malam-malam biasa. Pada siang harinya ada yang menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an (Tadarusan). Ada juga yang menonton TV sambil membaca novel. Menjelang sore, sebagian ibu-ibu sibuk mempersiapkan menu untuk berbuka puasa.
Di malam hari selesai sholat Isya’ dilanjut dengan sholat tarawih. Sholat tarawih merupakan ritus paling penting sepanjang bulan Ramadhan. Dalam penentuan jumlah raka’at pun disini terjadi perbedaan antara Islam tradisional dan modernis. Meski akhir-akhir ini perdebatan itu sudah mulai mencair.
Malam-malam khusus yang diperingati pada bulan Ramadhan juga ikut meramaikan. Diantaranya malam Lailatul Qodar dan Nuzulul Qur’an. Bisanya diisi dengan pengajian-pengajian yang berkaitan dengan turunnya al-Qur’an. Orang Jawa khususnya percaya bahwa malam itu penuh dengan berkah dan kemuliaan dibanding dengan seribu bulan.
Ritus yang tidak kalah penting menurut orang Jawa yaitu I’tikaf. I’tikaf tidak begitu populer, biasanya kegiatan I’tikaf dilakukan pada hari-hari terakhir bulan ramadhan. Ritus ini sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Pada hari terakhir menjelang bergantinya bulan Ramadhan ke bulan syawal (Idul Fitri) untuk menyempurnakan ibadah puasanya umat islam diwajibkan untuk berzakat fitrah (kesucian). Datangnya hari raya Idul Fitri itu diakhiri dengan berbuka puasa hari terakhir bulan Ramadhan. Pada malam hari ini umat muslim merayakan dengan sangat meriah.
Paling banyak dilakukan adalah Takbiran. Ada yang melakukannya dengan sambil keliling kampung dengan membaca Takbir dengan berulang-ulang. Tua, muda, perempuan, laki-laki (tentu tidak dicampur) sama-sama memeriahkan malam hari raya Idul Fitri ini. Pagi harinya umat muslim berbondong-bondong menuju ke mesjid untuk melaksanakan Shalat Id. Tepatnya hari ini tanggal 1 syawal.
Selesai Sholat Id, jama’ah bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Tujuannya agar dosa sesama manusia semasa berinteraksi pada hari itu bisa diampuni Allah. Setelah merasa lega dan puas bermaaf-maafan serta silaturahmi pada hari itu juga dilanjutkan dengan nyekar. Nyekar disini substansinya sama dengan nyekar menjelang ramadhan. Hanya bedanya ini dilakukan pada hari raya Idul Fitri.
Demikian gambaran Ramadhan berikut dengan aksesoris ritus yang dilakukan orang Jawa. Meskipun dari sisi materiil orang Jawa harus menyediakan lebih dibanding bulan biasanya, tapi semua itu tertutupi dengan senangnya kedatangan bulan suci Ramadhan.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, karya penulis Swedia, Andre Moller ini menarik untuk kita renungkan terutama dalam momen-momen ramadhan. Buku ini tidak melihat puasa semata-mata dari aspek teologis-normatif, tetapi lebih dari itu, pelaksanaan ibadah puasa dalam buku ini dilihat dari aspek aksesoris yang mengitarinya dan membuat ramadhan menjadi lebih meriah dari bulan-bulan lainnya.