Aktor Intoleran itu Bernama Pemerintah

[Semarang – elsaonline.com] Musibah kemanusiaan yang menimpa Warga Syiah di Sampang merupakan bentuk kedzaliman, diskrimnasi, intervensi, intimidasi dan perenggutan hak asasi oleh pemerintah terhadap warganya sendiri. Dengan tidak mengindahkan norma hak asasi manusia dan hukum yang belaku, pemerintah telah menelanjangi dirinya di hadapan dunia internasional. Penghargaan yang diterima Presiden SBY dari Appeal Conscience Foundation (ACF) berkebalikan dengan fakta di lapangan. Tragisnya, tidak lantas berbenah, Negara justru membiarkan kasus Syiah sampai tahap mengkuatirkan dari sudut pandang kemanusiaan.

Sampai saat ini, warga Syiah masih terombang-ambing oleh nasib yang tidak menentu di tempat pengungsian, kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, tanah garapan, kesehatan yang tidak terperhatikan, trauma psikologis yang tinggi, ibu –ibu yang depresi  sampai anak-anak yang kehilangan hak pendidikan. Melihat fenomena tersebut, dimanakah negara?

Hari ini (20/6) Pemerintah Kabupaten Sampang memaksa warga Syiah yang berada di GOR untuk dipindahkan. Entah bagaimana nasib mereka di tempat yang baru itu. Yang jelas, mereka sekarang telah dipaksa meninggalkan kampong halamannya.

Pada akhirnya Kasus Sampang tidak hanya berkaitan dengan Kebebasan beragama dan berkeyakinan yang merupakan hak asasi tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Lebih dari itu, hak asasi lainnyapun ikut terenggut. Alih-alih sebagai penanggungjawb HAM dalam melindungi, memenuhi dan menghormati hak warganya, negara justu menjadi aktor terjadinya pelanggaran HAM. Negara telah melakukan dosa besar semenjak dari pembiaran terhadap pembakaran, perusakan dan pembunuhan Warga Syiah pada Desember 2011 yang terulang pada Minggu, 26 Agustus 2012.

Bukannya memenuhi hak konstitusional warganya, Pemerintah, mulai dari Bupati (pemerintah kabupaten) sampai Gubernur (pemerintah provinsi) justru secara sistematis telah merencanakan relokasi bagi Warga Syiah. Puncaknya pada Rabu, 19 Juni 2013 dengan hanya alasan akan melakukan istighasah warga Syi’ah yang masih bertahan di GOR diusir dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Dalam hal ini, Negara tidak hanya gagal dalam melindungi warganya, akan tetapi Negara telah dikangkangi oleh mayoritas masyarakat.

Baca Juga  “Putusan Tajul Muluk : Keadilan Mayoritas”

Atas rangkaian peristiwa tersebut di atas, kami mengajak seluruh elemen masyarakat yang peduli akan hak asasi manusia dan perdamaian untuk mengutuk dan mempresur Negara supaya mengembalikan hak-hak warga syiah yang terkoyak. Menuntut keadilan bagi para pelanggar HAM yang didalangi oleh bupati dan gubernur yang telah jelas merampas hak-hak warga syiah.

 

Semarang, 20 Juni 2013

Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang

 

Yayan M. Royani

Kordinator Divisi Advokasi

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini