Oleh: Tedi Kholiludin
Kemunculan komunitas Yahudi di Indonesia masih menyisakan ruang bahasan yang cukup luas. Kehadirannya diduga sudah berlangsung cukup lama, tetapi tidak cukup mendapatkan sorotan dari pemerhati masalah Indonesia (Champagne&Aziz: 2003). Permulaan Yahudi di Indonesia disebarkan oleh para pedagang di masa pemerintahan Belanda pada abad 17. Orang-orang Belanda, Rusia, Rumania dan Yahudi Irak berasimilasi dengan pemerintahan Belanda di Indonesia tanpa memperbincangkan identitas keyahudiannya. (Hadler, 2004: 299, Suciu, 2008: 14). Kebanyakan yang hadir di Indonesia adalah Yahudi dari dua kelompok Ashkenazim dan Sephardim (di Surabaya).
Survey tentang eksistensi komunitas Yahudi di Indonesia, dilaksanakan pada tahun 1921 oleh Israel Cohen (Hadler, 2004). Cohen menggambarkan bahwa komunitas Yahudi di Indonesia sangatlah aktif. Saat memberikan ceramah di Jakarta, Cohen memperkirakan ada kurang lebih 2000 komunitas Yahudi dari Jakarta dan Surabaya. Selain di Surabaya dan Jakarta, pada awal abad 20, kelompok Yahudi juga sudah eksis di kota-kota lain seperti Padang, Semarang, Medan, Yogyakarta, Bandung dan kota-kota lainnya. (Hadler, 2002 via Champagne & Aziz, 2003). Di Padang, Hedler (2004) menjumpai aktivitas mereka dalam bidang penerbitan melalui majalah bulanan Erets Israel (Het Joods Land). Majalah ini dibuat oleh Van Creveld. Creveld pula yang menunjukan bahwa Surabaya adalah ‘community-in-embryo’ (gemeente-in-embryo) Yahudi serta meyakini bahwa Erets Israel dan Yahudi Indonesia akan berkembang di sana.
Di Manado, kelompok Yahudi dikembangkan oleh mantan partikelir dan anggota KNIL bernama Abraham Fontein. Fontein, yang menikah dengan Antje Rohring, adalah pengusaha terkenal di Manado yang aktivitasnya bernaung di bawah A. Fontein & Co. dan the Handelsvereniging Noord-Celebes or N.V Hvg A. Fontein dan the Menadosche Handelsvereniging. Pada 1902, Fontein membeli toko pertamanya. Abraham Fontein dan anak tirinya, John Fontein, bersamaan dengan keluarga Yahudi Belanda lainnya, menghidupkan kembali kehidupan masyarakat Yahudi di Minahasa. Salah satu wujud loyalitas mereka terhadap ajaran agama Yahudi adalah membangun sinagog di Jalan Korengkeng, Manado.
Setelah kekalahan Belanda (Jepang mulai datang ke Indonesia) banyak orang Yahudi yang meninggalkan Hindia (baca: Indonesia) dan kembali ke eropa berkumpul lagi dengan keluarga besarnya atau bermigrasi ke Amerika, Australia atau Israel (Champagne and Aziz: 2003, Suciu: 2008, Hadler: 2004). Hadler (2004) menceritakan pengalaman seorang Irak Yahudi zaman Jepang yang diseret masuk penjara di Surabaya bersama-sama dengan kaum Yahudi dari bangsa lain seperti Belanda dan Jerman. Dalam salah satu sumber dikatakan, perlakuan semena-mena Jepang terhadap Yahudi itu baru terjadi ketika Jerman sebagai sekutu Jepang datang ke Indonesia. Sebelumnya, Jepang tidak menangkap orang-orang Yahudi, namun Jerman menyuruh tentara Jepang menawan orang Yahudi. Ini tentu saja berkaitan dengan pengalaman anti semitisme di Jerman.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, tawanan Yahudi banyak yang dibebaskan namun banyak dari mereka yang sudah tidak lagi memiliki harta dan rumah. Dalam situasi itu, ada dua pilihan bagi orang Yahudi, meninggalkan Indonesia atau bekerja keras dan tetap tinggal. Pada awal kemerdekaan, komunitas Yahudi di Surabaya mengalami perkembangan, terutama dalam bidang ekonomi. Tidak banyak yang mengetahui bahwa peristiwa 10 November 1945 di Surabaya (kelak diperingati sebagai Hari Pahlawan) juga melahirkan seorang pengusaha-pejuang yang berasal dari kaum Yahudi Surabaya, yaitu Charles Mussry.
Setelah perang dunia kedua, World Jewish Congress (WJC) mengumumkan ada 500 Yahudi di Surabaya, 250 di Bandung dan kelompok-kelompok kecil di luar pulah Jawa (Hadler: 2004, 306). Meski ada perkembangan secara ekonomi pada masa awal kemerdekaan di Surabaya, tetapi situasi itu tidak merupakan kondisi umum yang dirasakan penganut Yahudi di bawah pemerintahan Soekarno. Perkembangan Yahudi dan masyarakat pendatang (termasuk Tionghoa) mengalami diskriminasi tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara sosial. Akhirnya banyak yang meninggalkan Mereka selalu dihubungkan dengan Belanda. Imbasnya, banyak komunitas Yahudi yang berimigrasi, hingga tersisa 10 sampai 20 komunitas Yahudi di Surabaya (Hadler 2004: 306, Sociu, 2008).
Secara yuridis, status konstitusional kelompok Yahudi bisa dilihat dalam Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Dalam penjelasan pasal 1, disebutkan ”… Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Khong Cu (Confusius)”. Terhadap enam agama ini, pemerintah memberikan jaminan seperti yang tertuang dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 juga bantuan-bantuan dan perlindungan. Lalu penjelasan berikutnya menyebutkan ”…ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasturian, Shinto, Thaoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lainnya”. Posisi konstitusional tersebut terang menunjukan kalau Yahudi sebenarnya memiliki hak konstitusional untuk hidup di Indonesia, meski mereka tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana enam officials religion.
Di Indonesia, Yudaisme, Yahudi dan Israel bukanlah kategori netral (Kamsma: 2010, 107). Yahudi seringkali dianggap identik bahkan sama dengan Israel, Zionisme bahkan Freemasonry. Apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina misalnya, selalu diterjemahkan sebagai penindasan bangsa Yahudi kepada umat Islam. Kaum Muslim, sebagai kelompok keagamaan terbesar di Indonesia lebih banyak menaruh kecurigaan terhadap Yahudi baik sebagai ajaran, sikap dan perilaku yang membahayakan mereka. Van Bruinessen (1993) menyebut, Yahudi dalam diskursus umat Islam telah menjadi simbol dari sesuatu yang tak mudah diungkapkan secara eksplisit. “Yahudi”, tidak merujuk kepada pemerintah Israel atau agama Yahudi, melainkan sesuatu yang tidak nampak.
Dalam wacana Islam, kemunculan Yahudi sebagai simbol itu setidaknya bergerak di dua level. Pertama, penyebutan Yahudi yang merujuk pada kekhawatiran terhadap sebentuk konspirasi yang akan menghancurkan agama Islam. Laju modernisasi, globalisasi, hedonisme dianggap sebagai rekayasa, bukan peristiwa yang bersifat alami. Ini dianggap persekongkolan yang menghancurkan Islam dan Yahudi lah biangnya. Kedua, Yahudi muncul melalui teori konspirasi yang tentu saja tidak lahir di Indonesia, tetapi di negara-negara Arab, Kuwait dan Mesir. (van Bruinessen: 1993, 2)
Propaganda anti Yahudi di Indonesia banyak muncul dalam frase “konspirasi Yahudi” (Burhanudin: 2007). Beberapa majalah kelompok islamis yang sering memunculkan bahaya kelompok Yahudi antara lain Media Dakwah, Suara, Hidayatullah dan Sabili. Dalam salah satu edisinya, Media Dakwah pernah memuat komentar Amien Rais tentang kekecewaanya pada pengelola Jurnal Ulumul Qur’an yang memuat tulisan William Liddle (Indonesianis) yang dianggap Yahudi. Amin mengatakan “Saya tidak habis berpikir, bagaimana William Liddle, yang Yahudi “tengik” itu, dapat diberi halaman yang begitu panjang di Ulumul Qur’an” (Burhanudin: 2007, 59).
Media Dakwah diterbitkan oleh kelompok “antiliberal”, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang didirikan oleh M. Natsir, salah satu ideolog muslim terkemuka pada 9 Mei 1967. Natsir dan Soekarno pernah berpolemik tentang dasar negara (Suhelmi: 2002). Natsir menghendaki agar Indonesia menjadi negara Islam sementara Soekarno berkeinginan agar Indonesia tidak didasarkan atas dasar agama tertentu, tetapi berpegang pada ideologi Pancasila.
Kemunculan Media Dakwahnya DDII bisa dengan jelas menggambarkan satu evolusi kesadaran mereka yang mengobarkan semangat antiliberal pada pemerintah orde baru. (Hefner, 2000: 111). Media Dakwah dianggap bisa menjaga visi keislaman DDII dan bahkan majalah ini bisa menarik kelompok-kelompok mahasiswa sehingga punya visi yang sejalur dengan semangat DDII. Dengan membangun visi Islam yang konservatif, Media Dakwah, berhasil menahbiskan dirinya sebagai salah satu media Islam terdepan yang konsisten mengobarkan semangat anti Yahudi. Pada era orde baru, mereka banyak mendapatkan pembatasan dari pemerintah, sehingga tidak terlalu mendapat keleluasaan dalam mengejawantahkan visi keislaman mereka yang konservatif. Tetapi situasi itu berubah kala reformasi merubah iklim politik Indonesia. Perubahan itu juga menyentuh aspek kebebasan berpikir dan berpendapat.
Dalam situasi dimana kebebasan berpikir mendapatkan ruangnya, ekspresi kelompok muslim konservatif semakin nampak jelas di permukaan. Dalam kaitannya dengan relasi Muslim-Yahudi, situasi internasional kerapkali mempengagruhi pola relasi tersebut. Seperti yang terjadi pada Desember 2008, ketika Israel melakukan agresi ke Palestina yang menyebabkan meninggalnya sekitar 1000 warga Palestina. Di Surabaya, 21 organisasi sosial keagamaan yang dikomandoi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur melakukan demonstrasi mengutuk agresi tersebut.
Ketua Umum MUI Jawa timur, K.H. Abdus Shomad Buchori langsung turun untuk memimpin demonstrasi tersebut. Dalam aksi itu Buchori mengatakan “Apabila Israel tidak menghentikan serangannya atas Palestina, kami akan melaksanakan sweeping kepada simpatisan, pendukung, dan agen-agen Israel di Jawa Timur.” (Surabaya Pos, 7 Januari 2009). Massa kemudian bergerak menuju ke Sinagog Beth Hashem, di Jl. Kayun 4-6 Surabaya, yang tak terlalu jauh dari Grahadi, tempat mereka melakukan aksi. Setelah sampai di sinagog, masa menggelar orasi sekitar satu jam. Meski polisi Surabaya Selatan berupaya menjaga ketat aksi tersebut namun massa berhasil mencopot papan nama sinagog, membakar bendera Israel dan menyegel pintu gerbang. Massa juga terlihat membawa spanduk besar 5×2 meter bertuliskan: “Boikot Produk Israel”. Spanduk itu dipasang di depan pintu masuk sinagog. “Kami berharap, kepada Pemkot Surabaya, Polisi dan semua pihak untuk mendukung aksi ini. Kami berkabung dan berduka atas rakyat Palestina dari kekejaman Israel. Untuk itu, kami minta tempat ini ditutup selamanya. Ganyang Israel!!! Ganyang Israel!!! Allahu Akbar!!!”, teriak seorang demonstran. (www.wahidinstitute.org)
Diskursus Yahudi dalam mindset umat Islam Indonesia, bisa tergambar dari kasus itu. Bagi umat Islam, tidak ada perbedaan antara kebijakan politik Israel dengan Yahudi. Meski yang terjadi di Palestina adalah agresi oleh tentara Israel, namun respon yang ditunjukan oleh umat Islam di Indonesia tidak hanya menggelorakan semangat anti Israel, tetapi juga anti Yahudi.
Kejadian yang sempat mengemuka dalam konteks semangat anti-Israel juga ditunjukan saat beberapa orang komunitas Yahudi merayakan kemerdekaan Israel pada 14 Mei 2011. Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta akan membubarkan acara perayaan Hari Kemerdekaan Israel ke-63 yang akan digelar di Jakarta itu. Ketua FPI DKI Jakarta Habib Salim Alatas beralasan mereka melakukan itu karena Israel menjajah rakyat Palestina. Sebagai umat Islam, ia merasa tidak bisa untuk tinggal diam.
Ahmad Suyanto, anggota DPRD Kota Surabaya pada tahun 2009 pernah meminta untuk membubarkan aktivitas Umat Yahudi disana. Ia beralasan karena Sinagogue itu tidak memiliki izin berdiri. Alasan lain, karena Yahudi tidak termasuk kategori agama yang ada di Indonesia. Akhirnya, 2013 Sinagog itu dirobohkan oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Sikap anti Yahudi, kata Anthony Reid muncul dan berkembang sekitar tahun 1980an dan 1990an yang dikarenakan oleh semakin memuncaknya konflik Israel-Palestina. (New York Times, 23/11/2010). Namun, di Manado kelompok Yahudi mulai diterima oleh banyak pihak. Pemerintah Minahasa Utara, sebuah kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, Menorah raksasa pada tahun 2009 dengan biaya sebesar $ 150.000. Seperti diberitakan New York Times (23/11/2010), sentimen pro-Yahudi Semakin kuat salah satunya karena kuatnya gerakan Kristen evangelis dan karismatik yang dengan bantuan Amerika dan misionaris Eropa telah berakar di dekade terakhir. Beberapa ahli menganggap gerakan ini sebagai reaksi terhadap meningkatnya peran Islam ortodoks di banyak daerah lain di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, kata Yahudi bagi kalangan muslim memiliki fungsi yang sebangun dengan Israel, Freemasonry, Rotary Club dan Zionis. Karena perbedaan yang berdasarkan agama dan etnis tidak bisa dimunculkan ke permukaan secara terang benderang, maka kata “Konspirasi Yahudi” bisa dijadikan sebagai senjata ampuh dan berguna untuk menjelaskan hal yang sangat abstrak itu. Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, dan Yahudi dianggap bukan sebagai salah satu “agama resmi” di Indonesia. Meski PNPS dengan jelas-jelas memberikan jaminan konstitusional kepada umat Yahudi.