Ada Oknum Dibalik Konflik Sosial

Dari kiri Pdt. Paulus Sugeng Widjadja (Dekan Fakultas Theologi Pascasarja Universitas Kristen Duta Wacana), Sofwan Faisal Sifyan (moderator) dan A Elga Joan Sarapung (Direktur Institut DIAN (Interfidei) Yoyakarta), Senin (26/10) kemarin. [Foto: Wahib]
Dari kiri Pdt. Paulus Sugeng Widjadja (Dekan Fakultas Theologi Pascasarja Universitas Kristen Duta Wacana), Sofwan Faisal Sifyan (moderator) dan A Elga Joan Sarapung (Direktur Institut DIAN (Interfidei) Yoyakarta), Senin (26/10) kemarin. [Foto: Wahib]
[Surakarta –elsaonline.com] Konflik antara umat beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih terus ada. Terakhir konflik pembakaran rumah Ibadah rumah ibadah milik penganut agama Kristen, di Aceh Singkil.

Menanggapi hal konflik tersebut, Pendeta Paulus Sugeng Widjdja menyatakan konflik antar agama dan keyakinan yang selama ini yang ada di Indonesia bukan tanpa sebab. Namun konflik tersebut dibuat sedemikian rupa oleh oknum-oknum tertentu sehingga terjadi konflik.

Menurut Dekan Fakultas Teologi Pascasarjana Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta ini, konflik tersebut disengaja dibuat konflik untuk tujuan tertentu. Karena adanya konflik bukan karena taqdir dan bukan juga karena kebencian suatu golongan dengan golongan yang lain, namun karena disengaja adanya.

“Konflik di Indonesia merupakan konstruksi sosial yang dilakukan oleh oknum yang menggerak agar konflik tersebut ada,” kata Paulus ketika menjadi narasumber dalam Konferensi Pemuda Nusantara untuk Perdamaian Indonesia di Balai Kota Surakarta, Rabu (26/10) kemarin.

Menurut Paulus, nilai manjadi isu yang disebarkan agar mudah terjadi konflik. Melalui nilai ini ditanamkan kepada orang-orang yang diinginkan terjadi konflik. Ketika nilai ini sudah menguat dalam diri orang-orang tersebut, maka kemudian denghan mudah terjadi konflik.

“Nilai ini bisa juga melalui agama atau keyakinan, dengan membuat isu tertentu dan dikuatkan dengan nilai maka akan mudah konflik, sebab sudah tertanam nilai yang menjerumus kepada konflik sebelumnya,” katanya.

Dalam kondisi demikian, menurut Paulus, peran pendidikan agama menjadi penting. Pendidikan agama di Indonesia tetap diadakan, namun dalam format pendidikannya ada yang harus dirubah.

“Pendidikan agama semestinya juga ada materi yang memberitahukan agama dan keyakinan yang ada di Indonesia, semisal agama Islam itu ibadahnya seperti ini dan agama Kristen itu begini, jadi mereka bisa mengenal dan tahu,” jelasnya.

Baca Juga  Catatan Kecil Bersama eLSA

Apabila sudah mengetahui, lanjutnya, maka mereka tidak akan saling konflik. Adanya rawan konflik antara beda agama dan keyakinan karena adanya ketidaktahuan di antara penganut agama.

“Ketika sudah ada rawan konflik, terus dikasih pemicu yang sedikit saja, makan akan mudah terjadi konflik, maka adanya pendidikan agama ini untuk menguatkan agar tidak terjadi konflik,” tandasnya. [elsa-ol/Wahib-@zainal_mawahib/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini