Gus Dur, Gus Papua

[Semarang -elsaonline.com] Peringatan pergantian tahun 1999 menuju 2000 tentu sangat spesial sebagai momen hadirnya milenium baru. Bagi KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, peringatan itu tentu sesuatu yang mesti dilewati dengan spesial pula. Sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia, Gus Dur ingin melaluinya dengan penuh suka cita.

Momen spesial itu adalah lancarnya lalu lintas keadilan bagi warga negara Indonesia. Di ujung timur, keadilan, pada tahun-tahun itu, dan mungkin hingga sekarang, masih merupakan barang mahal. Gus Dur tahu itu. Makanya, ia ingin agar keadilan itu tercipta di Bumi Cenderawasih.

Millenium baru dipancangkan Gus Dur sebagai awal untuk mengakhiri ketidakadilan di Irian Jaya. Gus Dur pergi ke Irian Jaya dan bersama-sama warga di sana, melewati momen pergantian tahun yang begitu istimewa. Bukan karena tahunnya yang istimewa, tapi juga karena ada kehendak yang istimewa untuk mengistimewakan warga Irian Jaya.

Gus Dur tak hanya berbincang dengan tokoh-tokoh dan warga Papua. Gus Dur juga tak hanya melihat matahari menyingsing dari Irian Jaya. Gus Dur mengembalikan jatidiri warga Irian Jaya. Gus Dur mengembalikan nama Papua dari Irian. Gus Dur juga yang memperbolehkan warga Papua mengibarkan bendera bintang kejora, identitas kultural mereka. Dan, Gus Dur membolehkan warga Papua menyanyikan lagu patriotik, “Hai Tanahku Papua,” sebagai himne Papua. 1 Januari 2000, semua identitas kultural itu kembali ke pelukan warga Papua.

Tahun 1961 Residen pertama Belanda di Hollandia pasca perang dunia, JP van Echoud, dihadapkan pada kenyataan adanya keinginan warga Papua untuk mengakui identitas mereka, Nama Papua Barat, bendera Bintang Timur, Lagu Hai Tanahku Papua dan Lambang Bintang Mambruk. Van Echoud yang dikenal sebagai Vader der Papoea’s (Bapak orang Papua) kemudian kemudian menyetujui tuntutan yang menjadi bagian dari Manifesto Politik pada 19 Oktober 1961. Pada 1 Desember 1961 bendera dinaikan dan Lagu Tanahku Papua diperdengarkan.

Baca Juga  Khofifah: “Yang Suka Mengkafirkan, Jangan Didukung”

Masih ada perdebatan, apakah 1961 itu adalah Deklarasi Kemerdekaan Papua atau hanya Manifesto Politik 19 tokoh saja. Tapi poinnya adalah apa yang dilakukan Gus Dur di tahun 2000, kurang lebih sama dengan kebijakan van Echoud di 1961.

Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua (PDP), Thaha M. Alhamid, seperti dikutip Titus Pekei menyebut Gus Dur berhasil mengalihkan kekalutan politik di Papua melalui proses bermartabat yang jauh dari tindakan anarki yang melibatkan pertentangan antara rakyat dan aparat. Gus Dur misalnya mengakomodasi aspirasi masyarakat pada tahun 2000 dengan memberi izin melaksanakan Kongres Rakyat Papua. 1 Miliar disumbangkan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut.

Thaha menyebut Gus Dur sebagai kitab hidup orang Papua. Saat Gus Dur meninggal, mereka tak hanya kehilangan seorang kiai, tokoh, mantan presiden, tetapi juga kehilangan kitab hidup. Kitab yang terus menerus memberikan nasihat.

Tahun 2006, Gus Dur juga datang ke Papua untuk berziarah ke makam Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay di Sentani. Theys dibunuh prajurit Komando Pasukan Khusus pada 10 November 2001, tepat setelah menghadiri Hari Pahlawan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah di Jayapura.

Tak hanya berziarah, Gus Dur meminta agar Theys dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Gus Dur menaruh karangan bunga di sana. Gus Dur seperti dikutip Pekei mengatakan, “Theys adalah orang besar, pejuang. Bukan hanya bagi rakyat Papua, tetapi bagi kita semua. Kita selayaknya memberikan hormat kepada beliau. Dan saya tidak akan sebelum beliau dinyatakan sebagai pahlawan nasional.”

Ya, Gus Dur seperti sedang menggenapkan Isaac Samuel Kijne yang ditulisnya 25 Oktober 1925. “Di atas batu ini aku meletakkan peradaban orang Papua; Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan makrifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini; Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri,” tulis Kijne misionaris yang sangat peduli dengan pendidikan tersebut. [Tedi Kholiludin]

Baca Juga  Jejak Gereja di Lereng Muria (3)
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini