Oleh: Tedi Kholiludin
Pertanyaan tentang kondisi umat Kristen di era kemerdekaan (tahun 1945) penting untuk ditelaah, setidaknya karena dua alasan penting yang saling bertaut; mereka adalah orang Indonesia dan memereka memeluk Kristen yang kerap diasosiasikan sebagai “agama orang Belanda.” Untuk memberikan gambaran tentang situasi tersebut, saya coba menengok yang terjadi di barat Jawa atau Tatar Pasundan sebagai fokus, sehingga dimungkinkan ada peristiwa yang tak sama di wilayah lain Nusantara dengan apa yang saya potret.
Pada Hari Rabu 14 November 1934, jemaat-jemaat di Jawa Barat (sekarang, termasuk di dalamnya DKI Jakarta dan Banten) yang merupakan bekas asuhan Nederlandsche Zendingsvereeniging (NZV) menjadi gereja mandiri. Bertempat di Gereja Jemaat Bandung, N.A.C. Slotemaker de Bruine yang mewakili NZV membacakaan Oorkonde atau piagam penyerahan. Pengurus baru tersebut menamakan dirinya de Christelijke Kerk van West-Java atau Gereja Kristen di Jawa Barat yang kemudian menjadi Gereja Kristen Pasundan.
Meski telah menjadi Gereja Pribumi, tetapi NZV belum sepenuhnya melepaskan pengelolaan kepada masyarakat Pasundan. Seperti terlihat dari komposisi pengurus dimana Johannes Iken dari NZV ditunjuk sebagai ketua Rad Ageng (Sinode Am) Gereja Kristen Pribumi di masa awal. Sementara, Sekretaris dijabat oleh Tan Goan Tjong dan Djoni Abednego sebagai Bendahara.
Pada empat tahun kepemimpinannya, Iken (seperti dikutip van den End, 690) melaporkan situasi yang tak mudah ketika memulai pekerjaan sebagai pengurus “Gereja Pribumi,” terutama dari sisi pembiayaan. Namun, ada kenyataan yang membuatnya bisa tersenyum sesaat. Setidaknya tiga hal yang membuat Iken merasakan situasi sosial yang membaik. Pertama, jarak antara guru jemaat dengan rakyat semakin berkurang. Kedua, pendeta bisa berinteraksi lebih dekat dengan orang Islam. Ketiga, orang bersedia masuk Kristen karena faktor penghantar jemaat pribumi sehingga mereka yakin kalau Kristen bukan agama Belanda.
Faktor lain yang pelan-pelan mulai mengurangi pandangan masyarakat soal Kekristenan yang identik dengan Belanda adalah kemunculan sekolah-sekolah zending termasuk Hollandsch Inlandsche School (HIS) (Soejana, 1997). Guru-guru pribumi yang menjadi pengajar di sekolah-sekolah tersebut membantu mengurangi pandangan masyarakat, meski tentu saja, bagi guru-guru tersebut, keterlibatan mereka di HIS atau Sekolah Zending juga memantik pandangan negatif.
Saat Jepang berkuasa pada 1942, mulai muncul prahara dalam kehidupan masyarakat Kristen, terkhususnya para zendeling. H.D. Woortman yang menggantikan J. Iken sebagai pimpinan Gereja Pribumi menyerahkan kepemimpinannya kepada Joshua (ejaan awal tertulis Joesoea) Aniroen. Joshua Aniroen kemudian mendirikan kepengurusan Rad Ageng darurat.
S.C. Graaf van Randwijck selaku konsul Zending menyerahkan seluruh pekerjaan serta inventaris milik NZV kepada Rad Ageng. Ia mengusulkan kepada Gereja Pasundan untuk membentuk Badan Kristen untuk mengurusi sekolah, rumah sakit dan inventaris bidang sosial lainnya. Ini misalnya sudah terjadi di Meester Cornelis yang membentuk “Badan Pengoeroes Kristen Pasoendan di daerah Djatinegara.”
Kiprah Gereja Pasundan dalam pelayanan sosial melalui infrastruktur yang diwariskan NZV, pada gilirannya, tidak bisa berjalan maksimal, karena Jepang kemudian mengambilalihnya. Hanya melalui kiprah personal anggota jemaat yang bekerja di rumah sakit atau sekolah saja Kekristenan bisa berkontribusi. Sekitar Maret-April 1942 jemaat Kristen di sekitaran Batavia mengalami gangguan. C.L. van Doorn, utusan NZV, melaporkan situasi tersebut, dan ia sendiri berada di kamp tawanan Jepang pada 1944-1945.
Pemutusan hubungan dengan NZV terjadi pada masa ini, dan zendeling banyak yang dimasukkan ke dalam tahanan oleh Jepang. Meski tidak ada larangan untuk melakukan pekabaran Injil, tetapi strategi yang digunakan tak lagi bisa seleluasa ketika Belanda masih berkuasa. Persoalan pendanaan yang sangat minim semakin menyulitkan Rad Ageng ketika hendak melakukan kunjungan atau koordinasi dengan gereja-gereja jemaat.
Ketika Jepang menyerah dan terjadi kekosongan kekuasaan, situasi sulit dihadapi jemaat Gereja Kristen Pasundan. Jemaat-jemaat di wilayah pedesaan seperti Gunung Putri (Bogor), Kampung Sawah (Bekasi) dan Cigelam (Bekasi) mengalami pengusiran dari kampung halamannya. Mereka akhirnya bermigrasi ke Jakarta, Bogor dan tempat lain yang aman. Tak hanya jemaat yang mengalami pengusiran, situasi serupa, bahkan lebih tragis dialami zendeling van de Weg di Indramayu. Setelah keluar dari kamp tahanan di Jakarta, ia kembali ke Juntikebon, Indramayu lalu terbunuh di sana.
Selain masalah kesalahpahaman karena persoalan identifikasi Kristen sebagai agama orang Belanda, juga ada faktor kesenjangan sosial ekonomi yang kemudian menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial (Soejana, 1997). Kejadian pembumihangusan, ketika tentara Belanda yang membonceng sekutu kembali masuk Indonesia, menyebabkan pengurus Rad Ageng yang ada di Bandung, juga sebagian jemaat, mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Menariknya, dalam situasi tak menentu itu, terjalinlah sebuah relasi keseharian yang alamiah. Orang-orang Kristen yang menghindari ancaman serta gangguan itu diterima oleh penduduk yang beragama Islam. Ini misalnya terjadi di Cibeuti (Tasikmalaya) juga di Ciwideuy (Bandung). Perjuangan warga Gereja Kristen Pasundan dalam perjuangan kemerdekaan juga turut melumerkan hubungan yang sempat menegang antara Kristen dan Islam. Frans Ignatius Lumelle (warga Gereja Kristen Pasundan Jatinegara) dan dokter Elia Kartawinata (GKP Sukabumi), mendapatkan Bintang Gerilya karena keikutsertaannya dalam perang gerilya. Masyarakat Sukabumi mengenal dr. Elia Kartawinata dengan sebutan dokter Winata Elia yang mendapatkan penghargaan Bintang Gerilya pada tahun 1947 langsung dari Presiden Soekarno.
Laporan van Doorn di sekitar Desember 1945 hingga Maret 1946 menggambarkan situasi umat Kristen dalam menyelami hakikat proklamasi. Bahwa banyak yang hilang atau sulit seperti yang dirasakan Jemaat Cigelam itu satu fakta, tetapi ada fakta lain yang mereka peroleh. Kehidupan jemaat di Jawa Barat sangat berkait dengan revolusi sosial dan politik yang tengah berlangsung saat itu.
Banyak orang Kristen yang mendukung Soekarno alias dengan sepenuh hati turut bergembira menyambut kemerdekaan. Mereka menentang dampak yang mengerikan karena pengusiran, tetapi sejauh menyangkut masalah kepemimpinan nasional, Kekristen di Pasundan mendukung republik. Dokter Johannes Leimena (anggota GKP Tanah Tinggi, Jakarta) seorang Ambon yang pernah menjadi direktur Rumah Sakit Immanuel Bandung dilantik menjadi Menteri Kesehatan pada Kabinet Presiden Soekarno.
Kehidupan umat Kristen pasca kemerdekaan, persis seperti digambarkan BJ Boland yang datang ke Indonesia mengganti van Doorn. Katanya, lama kelamaan orang Kristen akan mendapatkan kepercayaan dari teman sebangsanya. Ia yakin bahwa di republik yang baru Merdeka ini, orang mengikhtiarkan kebebasan beragama dalam artian yang agak luas. Bagi Gereja Kristen Pasundan, situasi awal kemerdekaan juga sekaligus memberikan tantangan bagi mereka untuk belajar mandiri dan membangun kepercayaan kepada kelompok lain untuk merasakan kehadiran mereka.