Ancaman Ormas Anti Pancasila dalam Persatuan dan Kesatuan NKRI

Oleh: Yayan Muhammad Royani
Pancasila merupakan rumusan fondasi negara yang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa. Kesepakatan tersebut lahir tidak dari ruang kosong, tetapi didasarkan pada nilai-nilai kebangsaan yang telah ada. Pancasila merupakan ideologi yang mempersatukan perbedaan dari berbagai latar belakang masyarakat yang bernasib sama (terjajah). Dengan penuh kesadaran akan persatuan dalam mendirikan sebuah negara, Pancasila menjadi simbol kedaulatan Indonesia.

Pada awal pembentukan, Pancasila diuji oleh keinginan ideologis maupun politik. Perbedaan pandangan tentang dasar negara tersebut pada akhirnya dapat diselesaikan dengan sebuah kesepakatan yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya oleh kelompok yang ingin mengganti ideologi Pancasila ataupun sistem bernegara, sebagai contoh gerakan separatis pada zaman orde baru diantaranya NII/DI TII yang dapat ditumpas meskipun tidak sampai tuntas.

Dalam upaya mengukuhkan Pancasila sebagai ideologi negara, Orde Baru melahirkan sebuah Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Diantara pokonya adalah dalam Pasal 1 ayat (1) poin a yaitu larang memutar balikkan, merongrong atau menyelewengkan idiologi negara Pancasila atau haluan negara. PNPS ini terus berlaku sampai akhir Orde Baru pada pemerintah BJ. Habibie dengan Undang-undang Nomor 26 tahun 1999 tentang Pencabutan PNPS Nomor 11 tahun 1963.

Pada tahun yang sama Pemerintahan BJ. Habibie mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Regulasi tersebut mengatur penambahan pasal 107 tentang keamanan nagera. Mengatur larangan penyebaran faham Marxisme-Leninisme dan secara umum pada Pasal 107 b menjelaskan tentang larangan menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila.

Regulasi-regulasi di atas sesungguhnya menggambarkan realitas idiologi, sosial maupun keadaan politik. Lahirnya regulasi Subversi zaman Orma menunjukan kekuatiran pemerintah dalam mempertahankan idiologi bangsa yang masih muda, sehingga ketegasan mutlak diperlukan. Begitupun pada rezim Orba dengan gaya otoriter, regulasi Subversi dijadikan alat dalam mempertahankan idiologi sekaligus kekuasaan politik. Perubahan terjadi justru pada era reformasi, dimana regulasi subversi dianggap tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan hak asasi manusia sehingga dicabut. Sebagai gantinya ditambahkan Pasal dalam KUHP tentang keamananan negara yang merujuk kepada pelarangan secara ketat faham komunis.

Baca Juga  Leuven, Belgia: Keragaman Etnik dan Budaya

Paska reformasi, ujian bagi Pancasila sesungguhnya bertambah berat. Dengan sistem demokrasi yang melindungi hak asasi manusia khususnya jaminan kebebasan sipil maupun poliitik, telah membuka kran berkembangannya organisasi atau gerakan radikal yang fahamnya justru bertolak belakang dengan Pancasila itu sendiri. Mereka memakai demokrasi untuk menentang sistem tersebut. Penulis membagi tipe gerakan radikal yang berkembang kepada tiga bentuk sebagai berikut:

Pertama; secara gerakan maupun idiologi adalah radikal. Kelompok ini lebih dikenal dengan teroris. Gerakan ini lebih merupakan gerakan transnasional yang diawali oleh ketidakpuasan atas sistem pemerintahan maupun idiologi serta faktor lain seperti ketimpangan ekonomi. Dalam oprasinya mereka menggunakan cara-cara yang radikal bahkan sampai bunuh diri. Dalam menanggulangi hal tersebut, pemerintah telah mengeluarkan undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang terorisme sebagai pengesah perpu No 1 tahun 2002.

Kedua; secara gerakan tidak radikal akan tetapi idiologi yang diusung adalah untuk mengganti Pancasila dengan sistem lain. Gerakan ini sangat halus karena mereka tidak terlihat secara langsung dan anti kekerasan. Sasaran kelompok ini adalah idiologi pemikiran untuk kemudian mencapai sebuah tujuan diantaranya yaitu sistem Khilafah Islamiyah. Untuk menangkal gerakan ini telah diatur dalam regulasi berupa Undang-Undang Ormas tahun 2013, pada Pasal 59 ayat (5) menyatakan bahwa Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Ketiga; secara idiologi tidak merongrong Pancasila, akan tetapi gerakannya menggunakan cara-cara radikal untuk memaksakan kehendak. Gerakan ini intoleran terhadap kelompok atau fenomena sosial yang dianggap bertentangan dengan keyakinan yang dianggap benar oleh kelompok mereka. Dalam hal penanggulangan lewat kebijakan regulasi, sesungguhnya gerakan ini dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam KUHP secara umum.

Baca Juga  Melindungi Penganut Aliran Kepercayaan

Penanggulangan kejahatan dengan regulasi hukum pidana pada implementasinya menyisakan berbagai permasalahan. Dalam pemberantasan terorisme, permasalahan yang muncul adalah penegakan hukum yang bertentangan dengan hak asasi manusia, seperti salah tangkap, salah eksekusi ataupun kesalahan dalam implementasi prosedur yang berlaku. Berbeda masalah penanggulangan pada ormas yang mengedepankan kekerasan. Dengan mengandalkan kekuatan masa, penegak hukum akan dihadapkan pada kondisi dilematis, antara hukum dan penanggulangan konflik. Pada saat itulah komitmen penegak hukum diuji, sejah mana mereka memegang hukum sebagai panglima.

Adapun dalam menanggulangi gerakan kedua yang bersifat idioligis, maka lebih sulit. KUHP mensyaratkan adanya akibat yang ditimbulkan berupa kerusuhan atau kerugian harta benda, padahal mereka tidak memenuhi unsur tersebut. lain dari itu, mereka akan berkelit dengan memutar balikan logika dalam rangka membela diri. Sifat idiologis inilah yang perlu perhatian menyeluruh dan mendalam dari seluruh elemen bangsa. Karena organisasi atau perkumpulan mungkin bisa bubar, akan tetapi pikiran yang sudah terdoktrin akan terus melahirkan gerakan dan berdiaspora dengan baju baru.

Organisasi dan gerakan yang idiologis tanpa kekerasan ini berlindung dalam hak asasi manusia yang mereka ingkari sendiri, seperti kebebasan berekspresi dan berkumpul. Perlu adanya ketegasan dari pemerintah, bahwa pembatasan HAM atas pembahayaan terhadap keamanan negara (menyerang idiologi) meskipun tidak dengan kekerasan dapat dilakukan atas dasar regulasi. Kunci dalam pembatasan tersebut adalah tidak diskriminatif dan menganut asas proporsionalitas.

Selain regulasi, menanggulangi gerakan yang dapat merongrong Pancasila tersebut, diperlukan kebijakan sosial yang dapat membuahkan kesadaran bersama dan gerakan masyarakat luas. Diantaranya dengan menutup celah dan mempersempit gerakan yang mengusung faham radikal. Khususnya dalam perkembangan di dunia maya, diperlukan peran seluruh pihak untuk mengcounter isu-isu yang menggiring pada gerakan radikal. Sudah saatnya mayoritas berbicara, sehingga penyebaran informasi tidak dikuasi oleh segelintir orang yang justru dapat memberikan pengaruh negatif.

Baca Juga  Memikirkan Kembali tentang Peranan Agama dalam Kekerasan dan Perdamaian di Ambon
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2023

Laporan tahunan kehidupan keagamaan di Jawa Tengah tahun 2023...

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini