Oleh: Tedi Kholiludin
Bagaimana kita memahami dan menjelaskan begitu merebaknya fenomena kekerasan serta bangkitnya konservatisme di Indonesia?
Ada dua penjelasan yang biasa digunakan untuk menyimak fenomena (pinjam istilahnya Martin van Bruinessen), conservative turn (belok ke arah konservatif) di Indonesia. Pertama, apa yang terjadi di sekitaran kita ini merupakan bagian dari situasi global yang memang mengarah pada kecenderungan konservatif. Salah satu peristiwa yang kerap dijadikan contoh adalah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Bom bunuh diri di Manchester, Inggris serta serangan kelompok Maute di Kota Marawi, Filipina adalah dua situasi teranyar yang menggambarkan betapa kekerasan adalah fenomena yang mengglobal. Sederhanana, pendulum sedang bergerak ke arah konservatif, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lainnya.
Argumen kedua mengatakan bahwa arus konservatisme keagamaan di Indonesia merupakan fenomena momentual yang sesungguhnya diawali sejak era reformasi. Gejala konservatisme adalah situasi yang terfasilitasi melalui berbagai kesempatan. Ada media massa, media sosial, rumah ibadah, sekolah dan ruang publik lain yang kerap menjadi sarana untuk diseminasi ide-ide konservatif. Karenanya, jika akhir-akhir ini kita menemukan gejala yang semakin menguat, maka hal tersebut sesungguhnya bukanlah sesuatu yang betul-betul baru terjadi.
Memang tidak bisa dipungkiri kalau dinamika sosial sebuah wilayah tidak bisa benar-benar independen dan tak terkait dengan area lain. Apa yang terjadi di Timur Tengah dan Marawi misalnya menunjukkan hal ini. Secara ide, banyak individu atau kelompok militan di Indonesia yang mengamini gerakan-gerakan Islamic State di Syiria dan Irak. Beberapa diantaranya turut berperang dan terjun disana. Yang cukup kentara tentu di Marawi. Bahkan pemerintah Indonesia sudah bersiap di wilayah Sulawesi Utara karena akan sangat besar kemungkinan kelompok Maute akan menggunakan jalur laut ketika mereka terdesak setelah Presiden Filipina, Rodrigo Duterte mengumumkan darurat perang di Mindanao.
Sekali lagi, hal ini menunjukkan kalau berbicara tentang Indonesia dan hanya melihatnya sebagai gejala nasional semata, seolah menutup mata terhadap kompleksitas situasi di level global. Bom di Kampung Melayu, juga tidak bisa dijelaskan semata-mata sebagai fenomena yang khas dan hanya terjadi di Indonesia, karena pada waktu yang hampir bersamaan, di belahan lain, kekerasan dengan motivasi yang kurang lebih sama tengah berlangsung.
Hanya saja, memberi penjelasan dengan cara menautkan persoalan “disini” dengan situasi “disana” juga tak sepenuhnya membantu. Bahwa ada ide keagamaan transnasional yang melampaui batas-batas teritorialitas itu tak bisa dinafikan, namun bagaimana ide tersebut disemai, ditumbuhkembangkan serta didiseminasikan, memiliki langgam yang tidak sama.
Tantangan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok konservatif juga tak sama. Di Indonesia misalnya, kelompok radikal tidak hanya berhadapan dengan negara dan aparatusnya, tetapi juga kelompok muslim moderat yang sesungguhnya adalah mayoritas. Situasi di Filipina menunjukkan situasi yang berbeda dengan Indonesia dari sisi ini. Benigno Aquino, presiden sebelum Duterte berupaya untuk mempromosikan dialog dalam mencari solusi atas persoalan di selatan, hal yang tidak lagi banyak dilakukan oleh Duterte. Sikap Duterte tersebut semakin menebalkan keyakinan bagi kelompok-kelompok muslim radikal di selatan kalau mereka tak akan pernah mendapatkan perlakuan yang adil dari Manila. Situasi menjadi bertambah pelik karena memang ada beberapa kelompok di Filipina yang berafiliasi ataupun bersimpati dengan Islamic State, selain Maute, seperti Ansar Khalifa, Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF) dan Moro Islamic Liberation Front (MILF).
Ketidakadilan Global
Persoalan ideologi memang tak bisa dinafikan dalam fragmen kebangkitan politik identitas di belahan dunia manapun. Seorang teman bercerita tentang adiknya yang bersama suami dan anak-anaknya, pergi ke Syria untuk “jihad.” Tidak ada persoalan ekonomi yang mendera mereka. Kehidupannya sungguh harmonis. Pilihannya tersebut murni karena insentif kerajaan surga yang akan diterimanya kelak jika mereka “syahid.” Ini adalah kasus yang menunjukkan bahwa memang ada dorongan yang bersifat keagamaan dan atas alasan itulah mereka melakukan tindakan-tindakan kekerasan.
Tetapi, itu bukanlah satu-satunya penjelasan tentang bagaimana conservative turn terjadi. Saya ingin mengambil Filipina sebagai contoh lagi. Telah menjadi rahasia umum kalau Amerika Serikat dan Cina sedang berebut pengaruh di Filipina. Mereka berjuang untuk melakukan kontrol di kawasan Laut Cina Selatan yang menjadi sengketa. Tak hanya itu, Trump, seperti dilansir The Guardian (29/5), memuji ketegasan Duterte dalam menghadapi kelompok radikal dan berencana mengundangnya ke Gedung Putih. Cina, Jepang dan Rusia juga tengah berusaha untuk melakukan hal yang sama. Sementara negara-negara maju tengah berupaya mendapatkan keuntungan geopolitik, terorisme dan kekerasan terus berlangsung di Mindanao.
Saya selalu meyakini bahwa conservative turn adalah fenomena yang kompleks. Tak semata berhenti sebagai masalah ideologi saja, tapi lebih rumit dari itu, ia menggambarkan sebuah situasi dimana didalamnya ada kelindan dengan masalah ketidakadilan ekonomi dan politik.
Karena ada perbedaan konteks, maka strategi yang digunakan dalam menanggulanginya juga berbeda. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo, melakukan strategi ganda; selain tentu saja memperketat barikade kepolisian dan militer, penguatan kelompok moderat Islam adalah cara kultural yang terus ditempuh karena memang elemen ini sokoguru utama keberislaman di Indonesia.