Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Sungguh disayangkan! Putra Indonesia yang sangat berjasa pada negara Indonesia, meninggal dunia. Dialah Ibu Hajah Fatimah Siti Hartinah Soeharto yang lahir tanggal 23 Agustus 1923. Sebagai insan beragama, kematiannya diiringi dengan manifestasi ritual yang penuh kesahduan. Berbagai kalangan elit, instansi pemerintah/swasta sampai pada tingkat RT ikut berpartisipasi dalam duka nasional. Dari shalat jenzah, penghormatan terakhir, pembacaan al-Qur’an, tahlilan maupun doa-doa ritual lainnya.
Akan tetapi sangat disayangkan, manifestasi ritual yang dilakukan umat beragama bermotif ganda dan tidak jelas (absurd). Antara tahlil ritual, tahlil kamuflase, tahlil komersial dan tahlil politik. Dari sini menarik, karena terjadi perubahan dan distorsi atas nilai-nilai agama yang sakral. Karenanya, wafatnya Ibu Tien Soeharto sebagai Ibu Negara, layak untuk direnungi sebagai perjalanan budaya ritual dan pemahaman umat beragama. Terutama, umat Islam terhadap spasialisasi agama itu sendiri.
Pelembagaan Kesalehan
Istilah pelembagaan kesalehan dimunculkan seorang tokoh Islam peradaban modern, Kuntowijoyo (1987). Asumsi ini didasarkan atas sejarah, bahwa munculnya massa dalam masyarakat yang mengalami industrialisasi akan mempengaruhi kesadaran bersama dalam kehidupan agama. Munculnya organisasi-organisasi sosial iman seperti Syarikat Islam, NU, Muhammadiyah dan lain sebagainya merupakan wujud nyata kesadaran beragama tadi. Massifikasi agama ini, berimplikasi pada kehidupan ‘politik’. Sebagaimana diketahui, di Indonesia pernah muncul partai-partai politik berdasar agama seperti Masyumi, NU, Perti, Parmusi dan PSII. Ini artinya pelembagaan kesalehan tidak bebas nilai (penuh muatan politik).
Fenomena pemassifikasian agama juga terjadi ketika meninggalnya Ibu Tien Suharto, dari tahlil, shalat jenazah, belasungkawa nasional sampai memakai kerudung/peci nasional. Orang yang tidak pernah shalat atau tahlil akhirnya ikut-ikutan shalat dan tahlil secara massal, seolah-olah tidak ada bid’ah-bid’ahan karena tahlil dianggap sebagai substansi agama. Tahlil yang tadinya menjadi tradisi budaya puritan sekarang memasuki kelompok elitisme. Dari sini, akhirnya terjadi pembauran budaya yang tidak jelas dan membingungkan.
Kecenderungan ini dapat ditarik dalam dua bangunan besar yaitu Islam ritualisme dan Islam pietisme. Islam pietisme adalah kelompok yang menekankan substansi agama, yakni agama ditangkap dalam bentuk pesan etika, untuk kemudian dikembangkan secara individual. Sementara kelompok Islam ritualisme, memahami Islam sebagai rutinitas ritual simbolik dan cenderung mengarah kepada sosio politik. Dalam terminologi ini kelompok eksoterik mistik (ritualisme), relatif lebih besar daripada kelompok esoterik mistik (pietisme). Permasalahan ini sangat panjang karena berdimensi historis yakni ketidaklepasan kultur Indonesia dengan kultur animisme-dinamisme, Hinduisme dan Budha serta kentalnya jiwa kejawen, terutama sejak berdirinya kerajaan Mataram Islam yang menjadikan Islam sebagai symbol. Disamping itu, juga karena ada perlindungan struktural (negara) yang sengaja memanfaatkan momen untuk kepentingan politik mereka.
Dikatakan kelompok ritualisme cenderung parsisten dapat dilihat dari partisipasi massa yang sangat besar dalam menyambut kematian Ibu Tien. Satu sisi memang wajar, karena Ibu Tien sebagai Ibu Negara yang banyak berjasa dalam kehidupan sosial-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomi-kenegaraan. Tetapi di lain sisi, menunjukkan ketidakberdayaan umat Islam karena partisipasi komunal itu multi fungsional. Yaitu disamping fungsionalisasi ritual, ekonomi, kamuflase bahkan politik.
Barangkali, bagi orang miskin, momen itu dijadikan sebagai lahan penghidupan, bagi kelompok menengah dijadikan sebagai ajang mencari muka, sedang kelompok elite dijadikan sebagai ajang politik. Ironis memang, mengapa kematian Ibu Tien, diiringi dengan beberapa tragedy nasional yang dapat meresahkan masyarakat.
Di Ujung Padang, terjadi bentrok fisik antara mahasiswa dengan aparat keamanan sampai menimbulkan korban jiwa. Kasus tersebut menjadi perhatian semua pihak, sehingga Komnas HAM sampai turun tangan. Peristiwa lain, skandal kolusi yang terjadi di lembaga tertinggi peradilan (MA). Tentu, ini menjadi peristiwa yang melengkapi tercorengnya lembaga hukum di Indonesia. Hal ini semakin kuat dugaan masyarakat adanya indikasi ‘mafia peradilan’. Belum reda dan tuntas dari satu peristiwa ke peristiwa lain yang dialami oleh bangsa Indonesia pada peristiwa duka dan keprihatinan yang berkepanjangan, pelaku pembobolan Bank Bappindo, Tan Eddy Tansil (Tan Tjoe Hong) kabur entah kemana rimbanya. Peristiwa ini semakin memilukan ditengah kita sedang berada dalam ‘Duka Nasional’.
Peristiwa ini tentunya tidak ada kaitannya dengan duka atas meninggalnya Ibu negara, namun secara kebetulan peristiwa tersebut saling menyusul. Bila dilihat dari konstelasi politik ini tentunya sempat membuat semua pihak terhenyak dengan peristiwa-peristiwa besar tersebut. Apalagi menjelang Pemilu 1997, akan membuat suasana politik nasional semakin hangat, bahkan bisa panas. Peristiwa ini juga menunjukkan, masyarakat Indonesia sudah terjangkit penyakit yang oleh Komaruddin Hidayat disebut sebagai ‘masochisme moral’. Artinya, bangsa Indonesia sudah tidak malu-malu lagi untuk membongkar boroknya sendiri. Seperti kasus pembongkaran Adi Andojo Soetjipto atas Djazuli Bachar, Direktur Pidana dan Samsuddin Abu Bakar, Ketua Majelis Hakim Agung yang telah melakukan manipulasi Peradilan Perkara No. 2K/Pid/1995 dalam kasus Gandhi Memorial School (GMS). Tapi yang jelas, gejala mosochisme moral hanyalah efek dari kebrobokan bangsa itu sendiri.
Dulu, ketika Soekarno menjabat presiden, gejala ini pun sudah muncul dengan aksi protes nasional untuk menuntut clean government. Karena harus diakui pemerintah pada saat itu mengalami krisis ekonomi dan politik yang kronis. Tuntutan itu berhasil gemilang degan tumbangnya rezim Orde Lama. Ketumbangan Soekarno disamping kebrobokan tingkat elite, juga karena kelemahan Soekarno dalam bermain politik. Sementara Orde Baru di bawah komando Presiden Suharto dapat meredam/membungkam kritisisme massa dengan permainan politik yang ‘cantik’.
Antonio Gramsci dalam teori sosialnya, menyebutkan, diantara senjata ampuh untuk memanipulasi realitas adalah dengan pelembagaan ritual yang berfungsi sebagai hiburan spiritual. Budaya Islam Indonesia yang ‘awam’ terhadap agama memandang Islam sembagai symbol-simbol ritual. Momen ini dimanfaatkan Negara untuk mengelabuhi massa. Dan hasilnya luar biasa, hampir 99.9 % dari umat Islam, memandang Negara sangat religious. Peringatan-peringatan keagamaan di berbagai instansi pemerintahan, pembangunan masjid secara massal, safari-safari pejabat dengan identitas muslim dan ‘politik kamuflase’ lainnya. Pendeknya, Negara memanfaatkan ‘kebodohan umat Islam’ untuk kepentingan politik (mengelabui realitas).
Strategi massifikasi agama ini, setidaknya dapat menutup kritisisme tingkat menengak ke bawah terhadap konflik politik tingkat elite. Akan tetapi di tingkat elite sendiri justru banyak yang menari-nari di atas duka nasional itu. Mengapa demikian? Karena momen duka nasional itu memacu kritisisme elite untuk membuat strategi-strategi baru. Hilangnya Eddy Tansil adalah fakta yang jelas dari manifestasi kecanggihan strategi elite itu. Inikah bentuk-bentuk penghormatan yang mesti diberikan kepada Ibu Tien Suharto? Ataukah, memang sudah selayaknya dia menerima ‘pahala’ itu? Semua ini perlu kita renungkan bersama, sebagai bangsa besar yang menghormati jasa pahlawan. Bukankah beliau akan dinobatkan sebagai pahlawan nasional?
Pemberdayaan Agama
Ada pertanyaan menggelitik. Apakah Indonesia merupakan Negara yang agamis? Pertanyaan ini sederhana, tapi rumit untuk dijawab. Sebab, terjadi kasus-kasus paradoks yang membingungkan. Satu sisi umat Islam Indonesia terbesa di dunia, prosentase haji selalu meningkat, pembangunan masjid terus bertambah dan peringatan hari-hari besar keagamaan selalu semarak. Di lain sisi, prosentase korupsi sangat besar. Merujuk berdasarkan penelitian Majalah Der Spiegel, Indonesia menududuki rangking pertama di dunia, sementara Majalah Economics menempatkan Indonesia, rangking kedua. Sedangkan Political Risk Consultancy Ltd menempatkan rangking ketiga se-dunia. Padahal, tingkat korupsi yang besar, akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi seperti dikatakan Dirjen WTO (World Trade Organization), Renato Rugierro.
Dari perspektif ini, dipandang wajar apabila terjadi kesenjangan ekonomi. Disamping korupsi yang membesar, mekanisme birokrasi Indonesia terburuk se-ASEAN. Tingkat kriminalitas pun tinggi. Apa makna semua itu? Kasus tersebut memberikan pelajaran, bahwa umat Islam belum berdaya dalam memahami Islam secara komprehensif. Islam masih dipandang secara parsial dan berkeping-keping. Wujud nyata parsialitas ini, pertama budaya pungkultusan symbol agama. Islam masih ditangkap dalam bentuk ritualitas simbolik. Ya, seperti fenomena partisipasi massa ketika meninggalnya Ibu Tien Suharto itu.
Kedua, adanya kesalahan dalam memandang Islam. Persoalan korupsi, penggusuran, ketidakadilan ekonomi, pembrangusan hak dan sebagainya, tidak dipandang sebagai permasalahan agama. Oleh karenanya, perlu pengkajian kembali epistemology Islam, menempatkan Islam dalam posisi yang sebenarnya. Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Maka dari itu, Islam jangan dilembagakan, tetapi dibiarkan berkembang menjadi kekuatan-kekuatan individual. [Sumber: Justisia Edisi 07 Tahun IV/1996]