Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul “Tahâfut al-Falâsifah” menyatakan kafir terhadap Abu Nashr al-Farabi dan Ibnu Sina lantaran keduanya berbicara 3 persoalan yang tidak disetujui al-Ghazali, yaitu; 1) keabadian alam semesta (qadm al-‘âlam), 2) Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular (lâ ya’lamu al-juz`iyât), dan 3) kebangkitan jasad (hasyr al-ajsâd).
Menurut Ibnu Rusyd, sejatinya al-Ghazali tidak mengkafirkan keduanya. Pemahaman demikian dapat dibuktikan dalam karyanya yang lain, yakni “Faishal at-Tafriqah”, al-Ghazali tidak menetapkan kafir terhadap orang yang menolak ijmâ’ (baca: konsensus ulama) dalam persoalan yang memiliki spekulasi makna.
Dalam hal ini, Ibnu Rusyd mendudukkan 3 persoalan metafisika itu ke dalam wilayah multi tafsir, sehingga pendapat al-Farabi dan Ibnu Sina yang dianggap bertentangan dengan pendapat mayoritas umat Islam masuk dalam katagori pemaknaan lain (ta`wîl) yang tidak dapat mengantarkannya kepada kekafiran.
Ta`wîl, mengalihkan makna yang “tampak” ke makna yang lain, di tangan Ibnu Rusyd menjadi metodologi penting yang dapat menghalau sikap intoleransi dan konservatisme dalam beragama.
Bagi Ibnu Rusyd, pengetahuan tentang ta`wîl ini menjadikan pemiliknya mendapatkan kedudukan istimewa dalam tingkatan keimanan. Imannya pemilik ilmu ta`wîl dihasilkan dari jeripayahnya dalam mendayagunakan akal pikiran, sementara imannya orang awam hanya berlandaskan pada hasilnya. Karenanya, meskipun kedua golongan itu (orang yang mengerti ta`wîl dan orang yang hanya membebek) sama-sama disebut Allah dalam al-Quran sebagai “orang-orang yang beriman (mu`minûn)”, namun keduanya dibedakan dalam taraf keimanannya.
Melalui telaah 2 karya al-Ghazali, “Tahâfut al-Falâsifah” dan “Faishal at-Tafriqah”, dalam bab “Takfîr al-Ghazâlî al-Falâsifata Mas`alah fî hâ Nadhar (Pengkafiran Al-Ghazali Terhadap Filsuf adalah Persoalan Yang Perlu Ditinjau Kembali)” Ibnu Rusyd hendak menyatakan bahwa al-Ghazali pada dasarnya tidak mengkafirkan al-Farabi dan Ibnu Sina, karena pendapat kedua filsuf muslim kenamaan itu berdasarkan pada pendayagunaan akal pikiran terhadap persoalan yang memiliki kemungkinan-kemungkinan makna.
Belajar dari al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, seorang muslim tak boleh gampang mengkafirkan saudaranya meskipun memiliki pendapat yang sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran yang menurut mayoritas umat Islam sudah “terkunci”. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88/001]