Kitab yang berisi tentang hubungan agama dan filsafat itu dipilih karena memiliki isi yang relevan dengan kehidupan umat beragama sekarang. Hal ini tak lepas dari banyaknya tindak intoleransi yang salah satunya dipicu oleh “kemalasan berfikir,” menafikan pikiran kritis dalam menyelesaikan perbedaan dan persoalan-persoalan keagamaan. Karenanya, di bulan penuh rahmat ini, tidak ada salahnya jika mereka kemudian memilih mengaji filsafat.
Koordinator Divisi Kajian eLSA, Khoirul Anwar menuturkan, kitab Fashl al-Maqal merupakan salah satu karya ulama klasik yang tidak dikaji di pesantren-pesantren. Menurut dia, kitab ini memiliki kandungan isi yang bagus untuk dipahami umat Islam, terutama dalam menghadapi perbedaan paham keagamaan. “Nah, pengajiannya berlangsung dengan metode ala pesantren, yakni diberi makna jawa, dan dikaji makna serta relevansinya. Jadi, kita memadukan metode khas pesantren dan metode kritis ala kampus,” tutur Anwar.
Disampaikan, kitab ulama asal Andalusia (Spanyol) yang hidup pada abad 11 M ini ditulis untuk menyadarkan umat Islam pada masa lalu yang mudah mengkafirkan umat agama lain. Saat itu, kata dia, penggunaan akal pikiran dalam beragama dilarang keras, sehingga yang terjadi adalah kemunduran peradaban. “Banyaknya pemikir-pemikir dikatakan sesat dan dihukum lantaran menyampaikan pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat mayoritas,” paparnya.
Selain itu, dia menyatakan, kurikulum keagamaan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik pondok pesantren, madrasah, maupun perguruan tinggi, masih perlu memperluas cakrawala dalam mengkaji pemikiran-pemikiran ulama masa lalu yang menjadi tulang punggung kejayaan Islam. Diterangkan, misalnya Ibnu Rusyd, ulama ini punya banyak karya, tapi umat Islam tidak mempelajarinya. “Yang mempelajarinya justru orang-orang Eropa, bahkan Ibnu Rusyd ini salah satu ulama Islam yang menjadi inspirasi masyarakat Eropa sehingga mencapai era keemasannya. Di Barat, Ibnu Rusyd dikenal dengan nama Averroes. Pengikutnya banyak,” katanya.
Lebih jauh, aktivis Lembaga Bahtsul Masa`il (komisi fatwa) NU Jawa Tengah ini, menambahkan, lembaga-lembaga pendidikan Islam, memiliki tanggungjawab besar dalam menjaga kreativitas berpikir. Kalau berpikir tidak dilarang, menurutnya, maka akan lahir karya-karya kreatif. Dan, tidak mungkin seseorang berpikir kalau tidak disertai dengan sikap toleran terhadap keberagaman pemikiran. “Nah, Ibnu Rusyd ini salah satunya menyerukan kebebasan berpikir. Jadi, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang lekat dengan kajian kitab kuning, harus memulai mengkaji karya-karya Ibnu Rusyd, untuk kemudian dikontekstualisasikan dengan masyarakat Indonesia,” bebernya.
Kegiatan Ngaji Pasaran Ramadhan ini juga mendapat apresiasi dari Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, Dr. KH. Mohamad Arja Imroni. Dosen UIN Walisongo Semarang yang hadir pada malam itu, menjelaskan, Fashl al-Maqal adalah sebuah kitab filsafat yang cukup berat bagi sebagian santri yang tidak familiar dengan khazanah filsafat. “Maklum, karena biasanya yang dibaca adalah kitab-kitab fiqh, hadist, tafsir atau kitab-kitab lainnya yang sudah mu’tabaroh (popular, red) di kalangan pesantren. Jadi, saya salut yang bersemangat mengkaji kitab-kitab yang jarang dibaca umat Islam itu,” pungkasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams/001]