Istri almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu menyampaikan, kegiatan sahur bersama ini sudah dilaksanakan selama lima belas tahun berturut-turut sejak presiden ke empat, almarhum masih di Istana. Ia mengaku, kegiatan ini selalu dimeriahkan bersama kaum minoritas dan berbagai kalangan menengah ke bawah hingga mahasiswa.
“Kegiatan ini sudah dilaksanakan selama lima belas tahun sejak Gus Dur masih di Istana. Kegiatan ini dimeriahkan bersama kaum dhuafa, masyarakat termarjinal, anak jalanan, tukang bangunan, tukang becak hingga mahasiswa,” ucapnya.
Perempuan tangguh ini juga berharap wajah Indonesia yang majemuk atau beragam, merupakan kenyataan yang tidak bisa diingkari. Identitas ini dapat mempersatukan diri satu sama lain guna menjaga toleransi dan persaudaraan.
“Wajah Indonesia dihiasi pelangi sangat indah, kesemua warna ini tidak saling mengingkari tapi bersatu menghiasi cakrawala nusantara Indonesia. Dalam hal ini sama dengan masyarakat Indonesia yang majemuk,” harapnya optimis.
Dalam kegiatan kemanusiaan ini, perempuan yang dikenal sebagai pelopor pejuang kemanusiaan ini menjadikannya sebagai ungkapan persaudaraan juga penghormatan terhadap sesama. Di samping ingin bersilaturahmi, dengan dilaksanakannya sahur bersama di bulan yang suci ini, ia menginginkan agar masyarakat saling menghormati dan menghargai dengan sesama.
“Saya ajak bersama-sama menyelenggarakan sahur, sebagai ungkapan persaudaraan, penghormatan dengan sesama agar dalam bulan yang suci ini kita saling menghormati, menghargai dengan sesama. Di samping saya ingin bersilaturahmi, menyapa saudara-saudara saya yang sudah menyambut hangat di bulan puasa bulan ramadhan ini. Agar kami dapat berbagi rasa, berbagi pengalaman dengan warga Kebon Dalem khususnya, dan saudara-saudara sekalian yang hadir,” ungkapnya.
Menyinggung perjuangan Gus Dur semasa hidupnya, ia mencontohkan bahwa Gus Dur berjuang dalam melakukan pembelaan dan pengakuan terhadap agama dan kepercayaan minoritas. Hal itu dilakukan karena berpegang pada amanat undang-undang dasar 1945, dimana warga negaranya dijamin atas kebebasan melaksanakan peribadatan sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.
“Gus Dur mengakui agama dan kepercayaan minoritas karena berpegang pada amanat UUD 1945 yang menjamin atau melindungi warga negaranya. Semuanya dipersilahkan melakukan peribadatan berdasarkan berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing,” pungkasnya sembari menutup acara dengan lantunan syiir munajat yang kerap dinisbatkan pada Gus Dur. [elsa-ol/Cahyono-@cahyonoanantato/002]